Selasa, 01 Juni 2010

Adakah Pemutihan Utang dengan Utang dalam Islam?

uangmoneyDalam khazanah ekonomi Islam dikenal istilah “muqashshah”. Dalam bahasa Arab, muqashshah berarti, A mempunyai utang kepada B sebesar utang B kepada A, sedangkan secara istilah, muqashshah adalah dianggap lunasnya utang A kepada B, karena B mempunyai utang kepada A. Jadi, muqashshah adalah salah satu cara melunasi utang. Ibnu Jizzi, seorang ulama bermazhab Maliki mengatakan, “Muqashshah adalah pemutihan utang dengan utang.” Pengertian

Dalam khazanah ekonomi Islam dikenal istilah “muqashshah”. Dalam bahasa Arab, muqashshah berarti, A mempunyai utang kepada B sebesar utang B kepada A, sedangkan secara istilah, muqashshah adalah dianggap lunasnya utang A kepada B, karena B mempunyai utang kepada A. Jadi, muqashshah adalah salah satu cara melunasi utang. Ibnu Jizzi, seorang ulama bermazhab Maliki mengatakan, “Muqashshah adalah pemutihan utang dengan utang.”

Beda Muqashshah Dengan Ibra’

Dalam bahasa Arab, ibra’ (pemutihan utang) memiliki makna membersihkan, memurnikan, dan menjauhi sesuatu. Adapun secara istilah, ibra’ adalah pemutihan kewajiban yang ada di pihak lain. Bedanya dengan muqashshah, muqashshah adalah pemutihan utang dengan kompensasi, sedangkan ibra’ adalah pemutihan utang tanpa kompensasi apa pun.

Hukum Muqashshah  

Muqashshah itu disyariatkan dengan dalil hadits dan logika. Dalam hadits, Ibnu Umar berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, tunggu sebentar, aku hendak bertanya. Aku menjual unta di Baqi’ dan harganya ditetapkan dengan dinar, namun uang yang kuambil berbentuk dirham. Terkadang, harganya ditetapkan dengan dirham, namun uang yang kuterima berupa dinar. Aku ambil ini dari itu dan kuberikan itu dengan ini. Rasulullah bersabda,

لَا بَأْسَ أَنْ تَأْخُذَهَا بِسِعْرِ يَوْمِهَا مَا لَمْ تَفْتَرِقَا وَبَيْنَكُمَا شَيْءٌ

“Tidak apa-apa kau mengambilnya, asalkan dengan harga yang berlaku pada hari tersebut, dengan syarat sebelum kalian berpisah, semua pihak sudah menerima haknya masing-masing.”(Hr. ِAbu Daud, no. 3354; dinilai dhaif oleh al-Albani)

Hadits ini merupakan dalil tegas yang menunjukkan bolehnya mengganti harga suatu barang yang terutang dengan yang lainnya. Logika pun mendukung bolehnya transaksi ini.

Macam-macam Muqashshah

Muqashshah terbagi menjadi dua:

Pertama, ikhtiyariyyah yaitu muqashshah yang terjadi dengan dasar kerelaan dua orang yang berutang.

Kedua, jabariyyah yaitu muqashshah yang terjadi pada dua buah utang dengan syarat-syarat tertentu.

Menurut mayoritas pakar fikih, untuk muqashshah jabariyyah, disyaratkan adanya kesamaan antara kedua belah utang dalam jenis, sifat, jatuh tempo, dan daya kuat utang. Syarat ini tidak berlaku untuk muqashshah ikhtiyariyyah.

Jika dua buah utang berbeda jenis, sifat, jatuh tempo atau yang satu lebih kuat dari pada yang lain, maka muqashshah tidak terjadi kecuali dengan kerelaan kedua belah pihak, baik sebab utang itu sama ataupun berbeda.

Obyek Muqashshah


Obyek muqashshah adalah utang, karenanya muqashshah tidak terjadi antara barang dengan barang, dan barang dengan utang, kecuali jika barang tersebut berubah status menjadi utang. Jika sudah berubah, maka boleh asalkan syarat-syaratnya terpenuhi.

Syarat-syarat Muqashshah

Menurut Syafi’iyyah, syarat muqashshah adalah sebagai berikut:
  1. Obyeknya adalah utang, sehingga tidak ada muqashshah untuk barang karena muqashshah dalam barang berstatus sebagai transaksi tukar-menukar, sehingga dibutuhkan kerelaan kedua belah pihak. Adapun dalam utang, merupakan suatu yang sia-sia jika uang pembayaran utang kita serahkan lalu dikembalikan seketika.

    Oleh karena itu, terlarang untuk mengambil harta orang yang berutang tanpa kerelaannya, selama dia mengakui kalau dia mempunyai utang dan dia akan menunaikan kewajibannya. Orang yang berutang punya hak untuk memilih bentuk pelunasan utang yang dia kehendaki. Tidak bisa kita katakan, setelah harta diambil, bahwa muqashshah telah terjadi, karena muqashshah hanya dalam utang bukan barang.
  2. Terjadi pada nilai, bukan pada benda yang bisa diganti dengan yang, semisal bahan makanan dan biji-bijian.
  3. Utang tersebut bukan dari transaksi salam. Jika kedua utang tersebut adalah transaksi salam maka tidak boleh, meski kedua belah pihak rela. Demikianlah yang ditegaskan dalam al-Umm, karya Imam Syafi’i.
  4. Jenis utang dan waktu jatuh temponya sama. Jika yang satu berupa utang rupiah namun yang kedua adalah utang dolar, maka muqashshah tidak terjadi.
  5. Setelah salah satu pihak menagih utang. Jika belum ada pihak yang menagih utang, maka menurut Qadhi Husain, muqashshah tidak terjadi tanpa ada perbedaan pendapat (di antara ulama Mazhab Syafi’i).
  6. Tidak terkait dengan harta yang harus disikapi dengan hati-hati. Ibnu Abdis Salam mengatakan, “Jika tidak mungkin menerima haknya, maka seorang dibolehkan mengambil haknya kecuali jika haknya tersebut pada harta orang gila, anak yatim, dan harta umum milik semua umat Islam.”
  7. Tidak ada muqashshah dalam hukum qishash dan hukum had. Jika ada dua orang yang saling melakukan qazaf (tuduhan berzina), maka tidak ada muqashshah. Demikian pula, jika ada dua orang yang saling melukai, maka masing-masing pihak wajib membayar diyat.

Berdasar kriteria di atas, maka jika A mempunyai utang kepada B sebesar utang B kepada A, baik penyebab utang itu sama seperti antara transaksi salam dan qardh (utang-piutang) atau pun berbeda, semisal transaksi qardh dengan kredit barang dan kedua utang tersebut sama jenis, sifat, dan jatuh temponya, maka dalam hal ini para ulama Mazhab Syafi’i memiliki empat pendapat.

Pendapat terkuat menurut Nawawi, dan inilah yang ditegaskan dalam al Umm, adalah muqashshah terjadi secara otomatis tanpa memerlukan adanya kerelaan. Alasannya, meminta uang kepada pihak lain, namun nominalnya sama dengan utang yang menjadi kewajibannya, adalah sesuatu yang sia-sia.

Muqashshah Dalam Zakat

Jika ada seseorang yang kaya mengutangi orang yang miskin, lalu mengatakan, “Utang tersebut aku tetapkan sebagai bagian dari pembayaran zakatku,” maka ini tidak sah hingga si miskin melunasi utang, kemudian orang kaya tersebut kembali menyerahkan uang tersebut kepada si miskin. Demikian pendapat terkuat dalam Mazhab Syafi’i.

Muqashshah Dalam Barang Titipan

Para ulama Mazhab Hanafi menegaskan bahwa jika A menitipkan barang kepada B, dan A punya utang kepada B berupa barang yang sejenis dengan barang titipan, maka tidaklah terjadi muqashshah kecuali jika keduanya berkumpul dan mengadakan muqashshah, dalam keadaan barang titipan dipegang secara riil. Demikian pula, pendapat Zarkasi dari Mazhab Syafi’i.

Muqashshah Dalam Harta Rampasan

Jika seseorang yang merampas benda milik seseorang mengutangi orang yang dirampas,  dan utang tersebut berupa barang yang sejenis dengan barang yang dirampas, maka tidak secara otomatis terjadi muqashshah, kecuali setelah ada kesepakatan dan barang dipegang di tangan. Demikian penegasan para ulama Mazhab Hanafi.

Penulis: Ustadz Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar, S.S.
Artikel: PengusahaMuslim.Com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar