Minggu, 30 Mei 2010

Doa Memohon Perlindungan dari Hilangnya Nikmat dan Kesehatan

Posted:
doa-kesehatan Satu do'a lagi yang ringkas namun penuh makna dari kitab Riyadhus Sholihin An Nawawi, yaitu do'a berlindung dari hilangnya nikmat dan datangnya penyakit.
doa-kesehatan Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
Satu do'a lagi yang ringkas namun penuh makna dari kitab Riyadhus Sholihin An Nawawi, yaitu do'a berlindung dari hilangnya nikmat dan datangnya penyakit.
Dari 'Abdullah bin 'Umar, dia berkata, "Di antara doa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah:
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ
“ALLOOHUMMA INNII A'UUDZU BIKA MIN ZAWAALI NI'MATIK, WA TAHAWWULI 'AAFIYATIK, WA FUJAA'ATI NIQMATIK, WA JAMII'I SAKHOTHIK.” [Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari hilangnya kenikmatan yang telah Engkau berikan, dari berubahnya kesehatan yang telah Engkau anugerahkan, dari siksa-Mu yang datang secara tiba-tiba, dan dari segala kemurkaan-Mu]. (HR. Muslim no. 2739)
Faedah dari hadits di atas:
Pertama: Yang dimaksud nikmat di sini adalah nikmat Islam, Iman, anugerah ihsan (berbuat baik) dan kebajikan. Jadi dalam do’a ini kita berlindung dari hilangnya nikmat-nikmat tersebut. Makus hilangnya nikmat adalah nikmat tersebut hilang dan tanpa ada penggantinya.
Kedua: Yang dimaksud dengan berubahnya kesehatan (‘afiyah) adalah nikmat sehat tersebut berubah menjadi sakit. Yang dimaksud dengan ‘afiyah (sehat) di sini adalah berpindahnya nikmat ‘afiyah dari pendengaran, penglihatan dan anggota tubuh lainnya. Jadi do’a ini kita maksudkan meminta selalu kesehatan (tidak berubah menjadi penyakit) pada pendengaran, penglihatan dan anggota tubuh lainnya.
Ketiga: Yang dimaksud fuja’ah adalah datang tiba-tiba. Sedangkan “niqmah” adalah siksa dan murka. Dalam do’a ini berarti kita berlindung pada Allah dari datangnya ‘adzab, siksa dan murka Allah yang tiba-tiba.
Keempat: Dalam do’a ini, kita juga meminta pada Allah agar terlindung dari murka-Nya yaitu segala hal yang dapat mengantarkan pada murka Allah.
Semoga do’a ini bisa kita amalkan dan mendapatkan berbagai anugerah.
Referensi: ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, Al ‘Azhim Abadi, 4/283, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, Beirut, tahun 1415.

Artikel www.rumaysho.com
Muhammad Abduh Tuasikal
Diselesaikan di wisma MTI, Pogung Kidul, 14 Jumadits Tsani 1431 H (27/05/2010)
Dipublikasikan oleh: PengusahaMuslim.Com

Sabtu, 29 Mei 2010

Anda Membutuhkan Kualitas Pemimpin yang Baik?

pemimpin-korporat Anda Membutuhkan Kualitas Pemimpin yang Baik?
Mencoba mendaki tangga perusahaan jauh lebih mudah jika Anda tahu apa yang dicari perusahaan pada karyawan yang baik. Lebih dari sekedar ketepatan, kehandalan, dan loyalitas, membuat jalan Anda dalam dunia korporat membutuhkan kualitas kepemimpinan yang memadai. Perusahaan terdiri dari individu. Mengetahui bagaimana memimpin individu dengan cara yang menguntungkan orang-orang yang terlibat di dalamnya serta perusahaan adalah penting untuk kesuksesan bisnis.
Mencoba mendaki tangga perusahaan jauh lebih mudah jika Anda tahu apa yang dicari perusahaan pada karyawan yang baik. Lebih dari sekedar ketepatan, kehandalan, dan loyalitas, membuat jalan Anda dalam dunia korporat membutuhkan kualitas kepemimpinan yang memadai. Perusahaan terdiri dari individu. Mengetahui bagaimana memimpin individu dengan cara yang menguntungkan orang-orang yang terlibat di dalamnya serta perusahaan adalah penting untuk kesuksesan bisnis.

Salah satu kualitas terpenting pada pemimpin yang baik adalah harus memiliki kemampuan berkomunikasi dengan baik. Kebanyakan masalah yang muncul dalam hubungan personal dan bisnis dikarenakan kurangnya komunikasi yang memadai. Salah satu elemen komunikasi yang paling penting adalah kemampuan untuk mendengar. Kita semua tahu bagaimana tekanan untuk menyampaikan sesuatu pada seseorang yang merupakan pendengar yang buruk. Ketrampilan mendengarkan yang baik termasuk kontak mata dan feedback yang dibutuhkan dalam hubungan bisnis.

Pemimpin yang baik memiliki antusiasme dan hasrat terhadap pekerjaannya. Bahkan pekerja yang paling ambivalen bisa terinspirasi dengan antusiasme alami yang dimiliki pemimpin yang baik. Tidak seorangpun yang terinsipirasi dengan hal-hal yang lebih besar oleh seseorang yang tidak memiliki antusiasme dan hasrat. Salah satu bagian terpenitng dalam antusiasme adalah sikap positif. Orang merasa tidak suka dengan hal yang negatif dan tertarik dengan pemimpin yang memiliki sikap positif.

Salah satu kualitas yang paling penting dan intrinsik pemimpin yang baik adalah inisiatif. Pemimpin yang baik melihat sesuatu yang perlu diperhatikan dan melakukannya tanpa menunggu disuruh. Mengambil inisiatif adalah yang harus dimiliki pemimpin.

Bagian penting lainnya menjadi pemimpin adalah mampu membuat keputusan, bahkan yang sulit sekalipun. Pengambilan keputusan membutuhkan kemampuan untuk melakukan riset. Pemimpin yang baik mengumpulkan semua informasi dan menimbang dengan penuh perhitungan faktor-faktor yang ada di dalamya untuk membuat keputusan yang paling benar. Hampir sama pentingnya dengan mempertahankan keputusan yang mereka buat. Meski jika keputusan menghasilkan konsekwensi yang sebaliknya, pemimpin yang baik akan ada di balik alasan membuat alasan tersebut. Jika terjadi kesalahan, pemimpin yang baik akan belajar dari kesalahannya dan tidak mengulanginya.

Menjadi pemimpin yang bisa diandalkan dan menginspirasi adalah tentang kerja keras dan membentuk perilaku baik. Banyak organisasi yang dijalankan oleh pemimpin yang sukses menawarkan workshop simulasi kepemimpinan bagi mereka yang ingin meningkatkan kemampuan kepemimpinan mereka. Workshop ini fokus pada meningkatkan dan membentuk kualitas yang membuat pemimpin yang baik. Dengan bantuan para profesional ini, banyak pemimpin yang menyaring kualitas yang ada didialmnya yang akan membuat mereka menjadi pemimpin yang baik.
Penulis: Art Gib adalah seorang penulis freelance
Sumber: http://leadership.bestmanagementarticles.com

Diterjemahkan oleh: Iin – Tim Pengusahamuslim.com
Artikel: pengusahamuslim.com

Jumat, 28 Mei 2010

Tanya Jawab: Nomor Undian Berhadiah

nomor-undian Sebagian pusat perbelanjaan menaruh nomor yang disembunyikan pada salah satu produk yang mereka jual. Barangsiapa yang kebetulan mendapatkan nomor tersebut, berhak mendapatkan hadiah. Ini dilakukan untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Apakah hal ini diperbolehkan?
Pertanyaan:

Sebagian pusat perbelanjaan menaruh nomor yang disembunyikan pada salah satu produk yang mereka jual. Barangsiapa yang kebetulan mendapatkan nomor tersebut, berhak mendapatkan hadiah. Ini dilakukan untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Apakah hal ini diperbolehkan?

Jawaban:

Sudah menjadi rahasia umum bahwa produsen minuman kotak menyimpan satu nomor yang disembunyikan di antara seratus atau dua ratus kotak. Barangsiapa yang mendapatkan nomor tersebut, akan diberi hadiah. Akhirnya, banyak orang yang membeli produk ini (padahal mereka tidak membutuhkannya), karena berharap mendapatkan nomor tersebut. Sampai-sampai, ada sebagian orang yang membeli seratus kotak produk minuman tertentu, lalu dibuka satu per satu dan dibuang isinya, karena berharap mendapatkan nomor tersebut.

Banyak orang yang membelinya, namun hanya mendapatkan nomor setelah membeli seratus kotak atau kurang.

Tidaklah diragukan bahwa hal ini serupa dengan perjudian. Dalam trik ini, konsumen disedot untuk membeli minuman kotak tersebut, padahal sangat sedikit manfaat yang terkandung di dalamnya, atau harga yang terlalu mahal. Maka, hal ini termasuk memakan harta orang lain tanpa alasan yang bisa dibenarkan.

Kami nasihatkan agar tidak berhubungan dengan para produsen semacam ini, dalam rangka menjaga harta jangan sampai dikeluarkan untuk hal-hal yang tidak memberikan kontribusi yang positif bagi masyarakat. 

Penulis: Ustadz Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar, S.S.

(Dengan pemberian judul oleh redaksi www.pengusahamuslim.com)

Asuransi Adalah Judi, Benarkah?

uang Asuransi Adalah Judi, Benarkah?
Dalam bahasa Arab, asuransi disebut dengan istilah “ta’min”. Ta’min merupakan salah satu transaksi baru bagi kaum muslimin. Transaksi semacam ini tidaklah dikenal oleh kaum muslimin, kecuali pada abad ke-13 hijriyah, ketika hubungan perdagangan antara timur dan barat menguat paska Revolusi Industri di Eropa.
Sejarah Asuransi
Dalam bahasa Arab, asuransi disebut dengan istilah “ta’min”. Ta’min merupakan salah satu transaksi baru bagi kaum muslimin. Transaksi semacam ini tidaklah dikenal oleh kaum muslimin, kecuali pada abad ke-13 hijriyah, ketika hubungan perdagangan antara timur dan barat menguat paska Revolusi Industri di Eropa.

Transaksi ini dikenal kaum muslimin melalui perwakilan dagang asing yang berada di berbagai negeri kaum muslimin. Mereka lantas memasukkan transaksi ini, dimulai dengan
”ta’min bahri” (asuransi lautan), untuk kepentingan ekspor-impor. Kemungkinan besar, pakar fikih pertama yang menyinggung transaksi ini adalah Muhammad bin Abidin, penulis kitab Raddul Muhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar fi Syarh Tanwir al-Abshar yang merupakan salah satu kitab fikih Mazhab Hanafi.

Pengertian Asuransi

Menurut tinjauan bahasa, ta’min berasal dari kata “al-amn” yang bermakna ketenangan hati dan hilangnya rasa takut.

Adapun secara istilah, transaksi ta’min adalah sebuah transaksi yang berisikan kesediaan lembaga asuransi untuk menyerahkan kepada nasabah atau orang yang ditunjuk oleh nasabah sejumlah uang atau kompensasi materi yang lain pada saat terjadi musibah atau bahaya yang disebutkan dalam kesepakatan. Kompensasi ini merupakan timbal balik dari premi yang disetorkan oleh nasabah kepada lembaga asuransi.

Berdasar definisi di atas, bisa kita simpulkan bahwa transaksi ta’min memiliki empat rukun.

Yang pertama, dua pihak yang mengadakan transaksi, yaitu lembaga asuransi dan nasabah.

Kedua, bahaya atau musibah, yaitu peristiwa yang dimungkinkan terjadi pada masa yang akan datang.

Ketiga, premi, yaitu sejumlah uang yang diserahkan oleh nasabah secara berkala sesuai dengan kesepakatan awal.

Keempat, kompensasi materi yang jumlahnya boleh jadi telah dipastikan di awal atau tergantung besarnya nilai kerugian yang terjadi. Lihat al-Iqtishad al-Islami karya Hasan Siri, hlm. 252--253.

Hukum Asuransi

Syekh Muhammad bin Ibrahim Alu Syeikh, Mufti Saudi sebelum Syekh Ibnu Baz, mengatakan, “Transaksi ta’min itu menyelisihi syariat Islam karena mengandung berbagai hal yaitu:

  1. Gharar (spekulasi), jahalah (ketidakjelasan), dan khathar (untung-untungan), sehingga transaksi ini termasuk memakan harta orang lain tanpa alasan yang bisa dibenarkan.
  2. Mirip dengan judi karena dalam transaksi ini terdapat unsur taruhan (untung-untungan).

Ringkasnya, setiap orang yang merenungkan transaksi ini dengan seksama akan berkesimpulan bahwa tidak ada transaksi yang dibenarkan oleh syariat yang selaras dengan transaksi ta’min. Oleh karena itu, kerelaan kedua belah pihak dalam hal ini tidaklah teranggap. Kerelaan kedua belah pihak itu teranggap jika transaksi yang dilakukan oleh keduanya tegak di atas landasan keadilan yang sesuai dengan syariat.”

Haiah Kibar Ulama’ (semacam MUI di Saudi Arabia) juga telah mengeluarkan keputusan no. 55, tahun 1397 H, terkait “ta’min tijari” (asuransi yang berorientasi bisnis). Inti dari keputusan tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Transaksi ta’min tijari itu termasuk transaksi tukar-menukar finansial yang mengandung gharar (spekulasi) yang sangat berlebihan. Padahal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang jual-beli yang mengandung unsur gharar.
  2. Transaksi ta’min merupakan salah satu taruhan karena dalam transaksi ini terdapat unsur untung-untungan terkait dengan finansial, kerugian dalam adanya kesalahan, dan mendapatkan keuntungan tanpa kompensasi atau ada kompensasi namun sangat tidak layak.
  3. Asuransi termasuk permainan yang mengandung taruhan. Padahal hal semacam ini tidak dibolehkan, melainkan yang mengandung pembelaan terhadap Islam, dan ini sudah Nabi batasi dalam tiga hal, yaitu taruhan dalam perlombaan panah, pacuan unta, atau pacuan kuda. Adapun asuransi tidak termasuk tiga hal tersebut.

Adapun Majma` al-Fikih Islami yang berada di bawah naungan OKI mengatakan, “Sesungguhnya transaksi ta’min tijari dengan premi yang konstan, sebuah transaksi yang dipergunakan oleh berbagai lembaga asuransi yang berorientasi kepada bisnis, adalah sebuah transaksi yang mengandung unsur gharar yang besar yang membatalkan transaksi. Oleh karena itu, hukumnya adalah haram, menurut syariat.”

Sikap yang senada juga diberikan oleh al-Majma` al-Fikih al-Islami yang berada di bawah Rabithah Alam Islami. Al-Majma` mengatakan, “Setelah kajian yang cukup mendalam dan bertukar pikiran tentang asuransi, maka secara mayoritas (selain Syekh Mushthafa Zarqa) majelis menetapkan haramnya asuransi dengan berbagai bentuknya, baik asuransi jiwa, barang dagangan, ataupun jenis harta yang selainnya. Namun, secara aklamasi majelis al-Majma` menyepakati keputusan Haiah Kibar Ulama’ (Saudi Arabia) tentang bolehnya asuransi kerja sama (ta’min ta’awuni) sebagai alternatif pengganti ta’min tijari yang haram sebagaimana di atas.”

Dalam keputusan penjelas, terdapat enam alasan yang dipergunakan al-Majma` untuk mendukung keputusan di atas, di antaranya adalah:

Alasan pertama. Transaksi ta’min tijari merupakan salah satu transaksi tukar-menukar finansial yang mengandung unsur “gambling” (judi -ed) dan gharar (spekulasi) yang keterlaluan. Saat transaksi, nasabah tidaklah mengetahui nilai total dari jumlah premi yang harus dia berikan dan nilai jumlah kompensasi finansial yang akan dia dapatkan.

Boleh jadi, dia baru menyerahkan premi sebanyak satu atau dua kali lalu terjadi musibah, sehingga dia berhak mendapatkan kompensasi finansial yang telah disanggupi oleh lembaga asuransi. Kemungkinan yang lain, musibah tak kunjung terjadi sehingga nasabah menyerahkan semua premi namun tidak dapat timbal balik apa pun.

Demikian pula, pihak lembaga asuransi tidak bisa menetapkan jumlah uang yang didapat dan yang harus diserahkan untuk masing-masing transaksi, sedangkan dalam hadits yang shahih Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli yang mengandung unsur gharar (spekulasi).

Alasan kedua. Transaksi ta’min tijari itu mengandung riba fadhl (riba karena ada ketidaksamaan antara dua barang yang dipertukarkan) dan riba nasi`ah (riba karena pertukaran tidak dilakukan secara langsung).

Jika pihak lembaga asuransi menyerahkan kompensasi finansial kepada nasabah, ahli waris, atau orang yang ditunjuk, lebih besar dari uang yang diterima maka ini adalah riba fadhl. Di samping itu, lembaga asuransi menyerahkan kompensasi tersebut tidak secara tunai, sehingga ini adalah riba nasi`ah.

Namun, bila pihak lembaga asuransi hanya menyerahkan kompensasi sesuai dengan total premi yang diterima, maka dalam transaksi ini hanya terdapat riba nasi`ah saja. Kedua jenis riba ini haram dengan dasar dalil disamping ijma’. 

Memanfaatkan Uang Asuransi

Untuk menjawab masalah ini, Syekh Abdullah bin Umar bin Mar’i, seorang ulama dari negeri Yaman, pernah ditanya, “Apa hukum asuransi jiwa atau barang?”

Jawaban beliau, “Asuransi yang tersebar di permukaan bumi ini, termasuk di antaranya di tengah-tengah kaum muslimin, meski dengan sangat disayangkan, secara global termasuk asuransi yang haram karena di dalamnya terdapat unsur membahayakan pihak lain dan mengambil harta milik orang lain dengan cara paksa. Padahal, harta milik orang lain tidak boleh diambil kecuali dengan cara yang benar, sebagaimana firman Allah,

وَلاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil.” (Qs. al-Baqarah: 188)

لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ إِلَّا بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah harta seorang muslim itu halal diambil, kecuali dengan kerelaan hatinya.” (Hr. Ahmad , no. 19774; shahih karena memiliki banyak riwayat penguat; lihat: Shahih Jami’, no. 7662)

Adapun asuransi kerja sama (ta’awuni), maka dibolehkan. Caranya, sekelompok penduduk atau sekelompok orang yang memiliki pekerjaan tertentu saling membantu. Mereka menyerahkan setoran harian, bulanan, atau tahunan dalam nominal tertentu pada kas. Uang tersebut diserahkan dengan maksud untuk saling bantu dan untuk sedekah.

Ketika ada yang membutuhkan, maka uang yan terkumpul tersebut disedekahkan kepadanya. Transaksi semacam ini dibolehkan oleh banyak ulama, di antaranya adalah Lajnah Daimah para ulama Saudi Arabia.

Adapun asuransi jenis pertama, maka tidak diperbolehkan. Bukan berarti orang yang terkena musibah tidak boleh mengambilnya. Akan tetapi, orang tersebut boleh mengambilnya, namun hanya sekedar sejumlah premi yang pernah dia setorkan kemudian mengembalikan sisanya.

Kecuali jika berasal dari negara, sebelumnya negara telah memotong gajimu sebagai premi asuransi maka tidak mengapa mengambil lebih dari lebih dari jumlah premi yang pernah disetorkan, sebab di dalamnya terdapat gaji yang telah dipotong sebelumnya.” (Bingkisan Ilmu dari Yaman, hlm. 240) 

Penulis: Ustadz Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar, S.S.
Artikel: pengusahamuslim.com

Tanya Jawab: Ini Kuis atau Judi?

judi-kuis Apakah ada solusi syar’i untuk berbagai kuis, yang sebagian diantaranya mengandung unsur judi?”
Pertanyaan:
Apakah ada solusi syar’i untuk berbagai kuis, yang sebagian diantaranya mengandung unsur judi?”

Jawaban:

Menjadi kewajiban para pedagang dan produsen untuk merasa cukup dengan rezeki yang Allah berikan kepada mereka. Hendaknya, mereka berupaya maksimal untuk menawarkan barang dagangan mereka dengan menjaga komitmen untuk jujur dalam menggambarkan barang dagangan mereka.

Demikian pula, hendaknya mereka tidak berlebih-lebihan dalam mencari keuntungan dan mematok harga. Hendaknya, mereka merasa cukup dengan keuntungan sedikit sebagai kompensasi atas kepayahan mereka dan biaya untuk mengupah karyawan dan sewa tempat, asalkan mereka telah mendapatkan keuntungan yang mencukupi.

Banyak produsen yang berlebih-lebihan memuji produk mereka dan mematok harga dengan nilai yang tinggi sehingga mereka mendapatkan keuntungan berlipat-lipat dari keuntungan yang seharusnya mereka dapatkan.

Ketika ternyata produk mereka tidak diterima oleh pasar, maka mereka akhirnya mengadakan kuis untuk melariskan barang dagangannya. Mereka menawarkan hadiah yang bernilai besar sehingga banyak orang yang tertipu.

Andai mereka mau bersikap jujur dan mematok harga yang murah, lalu mereka terkenal dengan hal tersebut, niscaya banyak orang yang mencari barang produksi mereka dan membelinya sehingga mereka mendapatkan keuntungan yang mencukupi.

Kami nasihatkan kepada para pedagang agar berkomitmen dengan kejujuran dan memberikan penjelasan yang cukup, terkait dengan produknya, serta tidak berlebih-lebihan dalam mematok harga.

Sering sekali, para pedagang memuji-muji barang dagangannya dan menghabiskan dana yang tidak sedikit untuk hal tersebut, kemudian pada akhirnya masyarakat luas mengetahui kebohongan mereka. Akhirnya, produk mereka ditinggalkan oleh banyak orang, bahkan anggota masyarakat saling mengingatkan untuk tidak membeli produk mereka.

Andai mereka mau jujur dan menjelaskan apa adanya, tentu mereka akan mendapatkan kebaikan yang banyak.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
"Jika penjual dan pembeli jujur dan menjelaskan apa adanya. maka jual beli keduanya akan diberkahi. Akan tetapi, jika mereka berdua berdusta dan menutup-nutupi, maka keberkahan jual-beli mereka akan dicabut.” (Hr. Bukhari dan Muslim).

Sumber: Fatwa-fatwa Syekh Abdullah al-Jibrin dalam Ahkam al-Musabaqat at-Tijariah, terbitan Dar al-Qosim, cetakan pertama 1419.

Penulis: Ustadz Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar, S.S.
Artikel: PengusahaMuslim.Com

Tanya Jawab: Produk Saya No. 1 Loh!

nomor-1 Ketika mempromosikan barang dagangan, apakah produsen berhak menyebutkan keunggulan barang dagangannya yang memang nyata dengan menutupi kekurangan yang dimiliki produknya, bahkan sama sekali tidak menyinggung kelemahan produk tersebut dalam promosinya, padahal pihak produsen mengetahuinya?
Pertanyaan:

Ketika mempromosikan barang dagangan, apakah produsen berhak menyebutkan keunggulan barang dagangannya yang memang nyata dengan menutupi kekurangan yang dimiliki produknya, bahkan sama sekali tidak menyinggung kelemahan produk tersebut dalam promosinya, padahal pihak produsen mengetahuinya?

Jawaban:

Banyak promo yang dilakukan oleh pihak produsen. Promo dilakukan melalui surat kabar, pamflet dan media elektronik. Mereka berikan untuk barang dagangannya berbagai pujian dan sifat istimewa yang menyebabkan orang tertarik dengannya, dan banyak orang mengira bahwa barang tersebut tidak memiliki kekurangan sama sekali. Sebagaimana yang telah kami dengar dalam promo mobil baru, yang hakikat promo ini tidak diketahui oleh kebanyakan orang.

Demikian pula, dalam promo kulkas, AC, pakaian, sepatu, dan berbagai barang-barang baru. Setelah barang-barang tersebut dipergunakan, baru diketahui bahwa sifat-sifat yang dijanjikan ternyata tidak ada, kekurangan barang tersebut pun mulai diketahui, berbagai kelemahan pun mulai dijumpai dan hilanglah pujian selangit untuk barang tersebut.

Kewajiban pihak produsen adalah berlaku jujur dalam pemberitaan dan promo mereka, serta bercerita sesuai dengan fakta. Kelebihan barang disampaikan. Demikian pula, kekurangan dan kelemahan barang tersebut, dengan penuh keterbukaan, juga dibeberkan. Dengan demikian, pembeli benar-benar mengetahui keadaan riil yang ada pada barang tersebut. Pembeli yakin bahwa mereka tidak ditipu dan tidak ada keistimewaan barang atau cacat barang yang disembunyikan.

Sumber: Fatwa-fatwa Syekh Abdullah al-Jibrin dalam Ahkam al-Musabaqat at-Tijariah, terbitan Dar al-Qosim, cetakan pertama 1419.

Penulis: Ustadz Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar, S.S.
Artikel: PengusahaMuslim.Com

Rabu, 26 Mei 2010

Bila Zakat Diinvestasikan

zakat-investasi Investasi Zakat? Bolehkah dalam islam? Sangat polemik memang dan cukup dekat di dalam kehidupan masyarakat kita. Simak ulasan selengkapanya...
Karena menginginkan zakat benar-benar berfungsi secara efektif, maka ada sebagian kalangan yang mengusulkan agar harta zakat itu diinvestasikan. Artinya, harta zakat dari beberapa orang dikumpulkan, lalu dimanfaatkan untuk membuat suatu usaha industri. Keuntungan dari kegiatan industri ini dibagikan kepada sejumlah orang miskin setiap bulannya, secara rutin. Perlu diketahui, status kepemilikan usaha tersebut adalah milik bersama, namun pemilik tidak memiliki kewenangan untuk menjual bagiannya dari usaha tersebut.

Inilah yang disebut dengan menginvestasikan zakat. Yaitu, suatu usaha untuk mengembangkan harta zakat dalam jangka waktu tertentu, dengan berbagai metode investasi yang diperbolehkan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi orang-orang yang berhak menerima zakat. Bagaimanakah hukum kreasi semacam ini?

Investasi harta zakat bisa dibagi menjadi tiga kategori, yaitu investasi yang dilakukan oleh mustahiq zakat (orang yang berhak menerima zakat) setelah dia menerimanya, atau dilakukan oleh muzakki (orang yang berkewajiban membayar zakat), atau dilakukan oleh penguasa atau pengganti penguasa yang memiliki wewenang untuk mengawasi pengumpulan harta zakat.

1. Investasi zakat yang dilakukan oleh mustahiq

Para pakar fiqh menegaskan tentang bolehnya investasi harta zakat yang dilakukan oleh mustahiq setelah dia menerima harta tersebut. Harta zakat yang sudah sampai ke tangan mustahiq merupakan milik sempurna bagi mustahiq. Karenanya, dia memiliki kewenangan penuh untuk mengelola harta tersebut, sebagaimana mengelola harta asli miliknya. Mustahiq boleh saja memanfaatkan harta tersebut untuk membuat usaha investasi, membeli alat-alat kerja, dan lain-lain.

Imam Nawawi mengatakan, “Para sahabat kami (para ulama Mazhab Syafi’i) berpendapat bahwa gharim (orang yang terlilit hutang) dibolehkan untuk memperdagangkan bagian zakat yang dia terima, jika bagian tersebut belum mencukupi untuk melunasi utangnya. Akhirnya, bagian zakat tersebut bisa cukup untuk melunasi hutang setelah dikembangkan.” (Al-Majmu’: 6/210)

2. Investasi zakat oleh muzakki

Masalah ini berhubungan erat dengan apakah zakat wajib segera dibayarkan ataukah tidak. Mayoritas ulama berpendapat bahwa harta zakat wajib segera dikeluarkan, jika memang sudah sampai nishab dan atau genap satu tahun. Diharamkan menunda-nunda pembayaran zakat dari waktu wajibnya, kecuali memang ada alasan yang bisa diterima.

Inilah pendapat yang lebih kuat karena beberapa alasan.

Allah berfirman,

وَآتُواْ حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ

“Dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin).” (Qs. al-An’am: 141)

Yang dimaksud dengan haknya dalam ayat ini adalah zakat, sedangkan perintah itu harus segera dilaksanakan.

عن ابن أبي مليكة أن عقبة بن الحارث رضي الله عنه حدثه قال : صلى بنا النبي صلى الله عليه و سلم العصر فأسرع ثم دخل البيت فلم يلبث أن خرج فقلت أو قيل له فقال ( كنت خلفت في البيت تبرا من الصدقة فكرهت أن أبيته فقسمته )

Dari Ibnu Abi Mulaikah dari Uqbah bin ‘Harits, “Nabi melaksanakan shalat ashar bersama kami, setelah selesai beliau segera masuk ke dalam rumah. Tak lama sesudah itu, beliau keluar rumah, lalu ada yang bertanya kepada beliau perihal penyebab beliau cepat-cepat pulang ke rumah. Beliau bersabda, ‘Kutinggalkan di rumah emas sedekah. Aku tidak suka emas tersebut bermalam di rumahku, karenanya segera kubagikan emas tersebut.’” (Hr. Bukhari)

As-Sarkhasi mengatakan, “Barangsiapa yang menunda pembayaran zakat tanpa alasan yang bisa diterima, maka persaksiannya tidak bisa diterima.... Dalam zakat terdapat hak fakir. Menunda pembayaran zakat berarti menyengsarakan mereka.” (Al-Mabsuth: 3/233)

3. Investasi zakat oleh penguasa atau badan amil

Pada asalnya, harta zakat yang sampai ke tangan penguasa atau badan amil yang menggantikan tugas penguasa adalah segera dibagikan kepada yang berhak menerimanya. Oleh karena itu, para pakar fikih kontemporer bersilang pendapat tentang masalah ini.

Ada yang berpandangan bahwa boleh menginvestasikan harta zakat, baik jumlah harta zakat melimpah ataupun bukan. Diantara yang berpendapat semacam ini adalah Syekh Musthafa Zarqa.

Di antara alasan yang membolehkan adalah sebagai berikut:

Alasan pertama. Memang, pihak-pihak yang berhak menerima zakat sudah ditentukan dalam Qs. at-Taubah: 60, namun cara pembagian zakat kepada delapan golongan tersebut tidak diatur secara baku. Menunda pembayaran zakat yang dilakukan oleh badan amil zakat hanyalah memenej distribusi zakat, sehingga sah-sah saja secara syar’i.

Di samping itu, hal ini dikokohkan dengan beberapa hadits yang menunjukkan anjuran untuk bekerja, melakukan usaha yang produktif, dan menginvestasikan harta serta tenaga yang dia miliki. Semisal hadits dari Anas bin Malik.

Inti hadits tersebut adalah ada seorang miskin yang barang agak berharga miliknya dilelangkan oelh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Barang-barang tersebut akhirnya laku seharga dua dirham. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan agar satu dirham untuk membeli makanan dan satu dirham yang lain untuk membeli kapak. Dengan kapak tersebut, orang tersebut bisa bekerja mencari kayu bakar lalu menjualnya.

Setelah lima belas hari, orang tersebut bisa mengumpulkan uang sebanyak sepuluh dirham. Sebagiannya untuk membeli baju, dan yang lain untuk membeli bahan makanan.

Jika penguasa diperbolehkan untuk menginvestasikan harta seorang fakir yang kebutuhan pokoknya belum terpenuhi, maka tentu penguasa boleh menginvestasikan harta zakat yang menjadi hak fakir miskin sebelum digunakan untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Hadits di atas diriwayatkan oleh Abu Daud, namun hadits tersebut dinilai lemah oleh al-Albani dalam Dhaif Sunan Abu Daud no. 360 dan komentar beliau untuk Misykatul Mashabih no. 1851. Sehingga, hadits tersebut tidak layak digunakan sebagai dalil.  

Alasan kedua. Qiyas dengan investasi zakat yang dilakukan oleh penerima zakat dan dikuatkan dengan hadits-hadist yang mendorong untuk mewakafkan harta dan memiliki sedekah jariyah. Jika pengelola tanah wakaf diperbolehkan untuk memberdayakan harta zakat demi kemaslahatan sasaran wakaf, maka seorang penguasa diperbolehkan untuk memberdayakan harta zakat.

Alasan ketiga. Qiyas dengan pengelola harta anak yatim yang diperbolehkan untuk menginvestasikan harta anak yatim. Jika ini saja diperbolehkan, padahal benar-benar hal milik si yatim, maka diperbolehkan untuk menginvestasikan harta zakat sebelum diserahkan kepada yang berhak menerima, demi kepentingan orang-orang yang berhak menerima zakat. Harta zakat tidaklah lebih mulia jika dibandingkan dengan harta anak yatim.

Alasan keempat. Berdalil dengan logika, meski pada asalnya hal ini tidak diperbolehkan, tetapi terdapat kebutuhan mendesak di zaman ini, dan dalam investasi zakat berarti mengamankan sumber-sumber finansial yang permanen untuk memenuhi kebutuhan mustahiq zakat yang semakin meningkat setiap harinya.

Di sisi lain terdapat ulama yang melarang invesatasi zakat, semisal Dr. Wahbah Zuhaili. Alasan yang digunakan untuk mendukung pendapat ini adalah sebagai berikut:

Alasan pertama. Investasi zakat dalam bidang industri, pertanian, dan perdagangan menyebabkan zakat tidak segera diterima oleh para mustahiq karena harus menunggu keuntungan yang didapatkan. Singkat kata, hal ini menyebabkan penyelisihan terhadap pendapat mayoritas ulama, yang berpendapat bahwa zakat itu harus segera dibayarkan.

Alasan kedua. Investasi zakat bisa menyebabkan harta zakat amblas, karena yang namanya investasi itu boleh jadi untung dan boleh jadi rugi.

Alasan ketiga. Investasi zakat menyebabkan zakat tidak lagi dimiliki  oleh individu. Sehingga, hal ini menyelisihi pendapat mayoritas ulama yang menyaratkan pemilikan individu dalam pembayaran zakat, karena dalam Qs. at-Taubah: 60, Allah menyebutkan orang-orang yang berhak menerima zakat dengan menggunakan huruf “lam” yang menunjukkan adanya hak kepemilikan bagi yang menerima zakat.

Alasan keempat. Investasi zakat menyebabkan banyak harta zakat yang habis untuk keperluan administrasi penunjang jalannya investasi.

Ringkasnya, jika kita bandingkan dua pendapat di atas, tampak bahwa pendapat yang lebih kuat adalah pendapat ulama yang melarang untuk menginvestasikan harta zakat. Sehingga, zakat bisa diserahkan kepada fakir miskin dalam wujud uang tunai, dengan saran agar dijadikan sebagai modal usaha, bukan hanya untuk keperluan komsumtif atau dalam bentuk alat yang membantu profesi penerima zakat.

Jika dalam bentuk tunai kita hanya bisa memberi saran, karena begitu harta zakat di terima orang miskin tersebut, maka harta tersebut telah menjadi miliknya dan dia mempunyai wewenang penuh dalam mengatur dan membelanjakan hartanya sendiri.

Penulis: Ustadz Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar, S.S.
Artikel: PengusahaMuslim.Com

Selasa, 25 Mei 2010

Tanya Jawab: Lomba Apa Saja yang Boleh Diadakan?

piala-lomba Apa parameter untuk menilai perlombaan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan?
Pertanyaan:

Apa parameter untuk menilai perlombaan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan?

Jawaban:
Lomba lari, lomba perahu, dan lempar lembing, jika tanpa taruhan adalah diperbolehkan.

Lomba pacuan kuda, pacuan unta, dan memanah, meski dengan taruhan adalah diperbolehkan.

Sedangkan perlombaan ilmiah, menurut kami, diperbolehkan jika dalam perlombaan tersebut terdapat unsur memotivasi untuk menghapal dan mengulang materi yang telah dipelajari.

Semisal yang dilakukan sebagian dermawan, terkait dengan lomba hapalan al-Quran. Diumumkan bahwa barangsiapa yang mampu menghapal al-Quran 30 juz dalam waktu tiga bulan, maka akan mendapatkan hadiah sebesar 30 ribu real. Adapun jika mampu menghapal 30 juz dalam tempo enam bulan, maka akan mendapat hadiah sebesar 20 ribu real, dan seterusnya.

Demikian pula, perlombaan untuk menghapal hadits dengan menghapal sebanyak seratus hadits atau tiga ratus hadits dalam tempo setahun atau setengah tahun. Di akhir waktu yang telah ditentukan, diadakan ujian untuk mengetahui kekuatan hapalan, dan kepada pemenang pertama diberikan hadiah yang lebih besar dibandingkan pemenang kedua.

Demikian pula, untuk menghapal matan ilmiah (buku ringkas dari berbagai disiplin ilmu), baik dalam fikih, sejarah hidup Nabi, tauhid ataupun adab. Dalam perlombaan ini, orang yang berprestasi akan diberi motivasi, sedangkan hadiah berasal dari para dermawan yang tidak memiliki tendensi dunia, namun sekedar memberi semangat kepada para generasi muda untuk menghapal al-Quran dan berbagai bidang ilmu syar’i. Dalam perlombaan semacam ini terdapat manfaat, menurut tinjauan agama.

Sumber: Fatwa-fatwa Syekh Abdullah al-Jibrin dalam Ahkam al-Musabaqat at-Tijariah, terbitan Dar al-Qosim, cetakan pertama 1419.

Penulis: Ustadz Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar, S.S.
Artikel: PengusahaMuslim.Com

Selasa, 18 Mei 2010

Tanya Jawab: Kemasan Berhadiah

hadiah-tas Sebagian perusahaan meletakkan beberapa pertanyaan di barang yang mereka produksi. Biasanya, pertanyaan yang diberikan itu mudah sekali untuk dijawab dan seputar produk mereka tentang warna, ukuran, atau ciri fisik yang lain. Setelah jawaban dikirimkan, maka pada waktu yang ditentukan diadakanlah penarikan undian untuk menentukan siapa yang berhak mendapatkan hadiah. Apakah hal ini dibolehkan?
hadiah-tas Pertanyaan:

Sebagian perusahaan meletakkan beberapa pertanyaan di barang yang mereka produksi. Biasanya, pertanyaan yang diberikan itu mudah sekali untuk dijawab dan seputar produk mereka tentang warna, ukuran, atau ciri fisik yang lain. Setelah jawaban dikirimkan, maka pada waktu yang ditentukan diadakanlah penarikan undian untuk menentukan siapa yang berhak mendapatkan hadiah. Apakah hal ini dibolehkan?

Jawaban:

Ini adalah di antara trik pedagang untuk menarik perhatian masyarakat dan agar banyak orang tertarik untuk membeli produknya. Akhirnya, sebagian orang membeli barang tersebut lebih dari kebutuhannya, atau membelinya padahal dia sudah memilikinya atau malah memiliki barang yang lebih bagus kualitasnya. Itu semua dilakukan karena harapan mendapatkan hadiah yang disediakan oleh perusahaan.

Produsen akhirnya berani menjual dengan harga mahal, dan sebagian kecil keuntungan mereka gunakan untuk menyediakan hadiah. Karena hadiah inilah, mereka naikkan harga barang tersebut melebihi harga normalnya dan mereka puji habis-habisan produk yang mereka hasilkan. Dengan hal ini, banyak orang polos yang tertipu. Mereka berbondong-bondong membeli barang tersebut dan menjawab pertanyaan yang ada di dalamnya, yang jawabannya bisa diketahui setelah membelinya.

Oleh sebab itu, para pedagang tidak boleh memotivasi mereka untuk melakukan hal ini karena undian semacam ini berstatus semi perjudian dan termasuk memakan harta orang lain tanpa alasan yang bisa dibenarkan. Di samping itu, dalam hal tersebut terdapat kezaliman terhadap konsumen, karena harga produk tersebut cukup tinggi jika dibandingkan dengan harga pasaran.

Demikian juga, menzalimi produsen lain yang ditinggalkan oleh kebanyakan orang karena tidak mengadakan undian. Dalam hukum agama, semua bahaya harus disingkirkan. Kami nasihatkan kepada para pedagang agar merasa cukup dengan rezeki yang Allah limpahkan kepada mereka, dan hendaklah mereka menjual produknya dengan harga yang murah, sehingga tidak ada satu pun muslim yang terzalimi.

Penulis: Ustadz Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar, S.S.

(Dengan pemberian judul oleh redaksi www.pengusahamuslim.com)

Senin, 17 Mei 2010

Life is a Style

life-style Saudaraku, Anda pernah mendengar motto “life is a style”? Atau mungkin Anda termasuk yang terinspirasi oleh motto ini?

Kalau Anda adalah orang Jawa, saya yakin Anda diajari motto "ajining rogo soko busono" (harga diri tercermin dari pakaian).

Simak ulasan selengkapnya...
Alhamdulillah, salawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan sahabatnya. Amin.

Saudaraku, Anda pernah mendengar motto “life is a style”? Atau mungkin Anda termasuk yang terinspirasi oleh motto ini?

Kalau Anda adalah orang Jawa, saya yakin Anda diajari motto "ajining rogo soko busono" (harga diri tercermin dari pakaian).

Saudaraku, coba Anda bayangkan, apa perasaan Anda ketika sedang berpenampilan perlente, semerbak mewangi, serta pakaian, sepatu, jam tangan, tas, dan lain sebagainya serba bermerek, dengan harga seabrek.

Bahkan, tidak jarang dari saudara kita yang beranggapan bahwa agar penampilannya lebih sempurna, ia masih perlu untuk menyisipkan sebatang rokok putih di bibirnya.

Keren, wah, dan penuh percaya diri. Kira-kira begitulah perasaan yang bergemuruh dalam jiwa Anda kala itu. Bukankah demikian, Saudaraku?

Sebaliknya, bayangkan Anda sedang berpenampilan gembel, baju compang-camping, sendal jepit, berjalan di salah satu pusat belanja tersohor di kota Anda. Bagaimana perasaan Anda saat itu? Mungkinkah saat itu Anda bisa tampil dengan percaya diri dan tetap menegakkan kepala, apalagi membusungkan dada?

Saudaraku, Anda pernah berkunjung ke Cibaduyut, Bandung? Betapa banyak produk dalam negeri dengan mutu ekspor yang hasil penjualannya seret di pasaran dalam negeri. Program cinta produk dalam negeri senantiasa kandas, dan hanya sebatas isapan jempol sesaat, dan segera sirna.

Sebaliknya, setelah diberi label oleh perusahaan asing, berbagai produk dalam negeri menjadi begitu laku di pasar, dan tentunya dengan harga yang berlipat ganda.

Saudaraku, mari kita merenung sejenak, dan bertanya, “Sejatinya, harga diri saya terletak dimana? Mungkinkah harga diri saya terletak pada pakaian, sepatu, jam, dan berbagai produk lainnya?”

Bila jawabannya, “Tidak,” lalu mengapa ketika berbelanja Anda memilih barang dengan merek-merek terkenal yang harganya selangit? Padahal, banyak merek lain, produk dalam negeri, mutu yang sama dan tentunya dengan harga yang jauh lebih murah, tidak masuk dalam nominasi daftar belanja Anda?

Saudaraku, atau mungkinkah kepercayaan diri Anda terletak pada sepuntung rokok yang tidak lama lagi akan Anda injak dengan sepatu Anda?

Betapa sengsaranya diri Anda, bila Anda beranggapan bahwa harga diri dan kepercayaan Anda hanya tumbuh bila Anda melengkapi diri Anda dengan berbagai produk orang lain. Sehingga bila pada suatu saat Anda tidak dilengkapi dengan berbagai asesoris, Anda merasa kurang percaya diri atau bahkan rendah diri.

Bahkan, kalaupun Anda dilengkapi dengan berbagai asesoris mewah yang Anda miliki, maka Anda akan kembali merasakan rendah diri tatkala berhadapan dengan orang yang mengenakan asesoris lebih “wah” dibanding yang Anda kenakan.

Juga, sudah barang tentu, bila harga diri Anda terletak pada asesoris yang melekat pada diri Anda, maka tidak lama lagi harga diri Anda akan ketinggalan zaman alias “expire date”.

Wah, gimana tuh rasanya punya harga diri yang "expire date"?

Ketahuilah Saudaraku, sejatinya harga diri Anda terletak pada jiwa Anda. Harga diri Anda terpancar dari iman dan ketakwaan Anda kepada Allah. Bila Anda adalah orang yang berjiwa besar, benar memiliki harga diri, maka Anda tetap percaya diri, walau tidak dilengkapi oleh berbagai asesoris mewah dan bermerek. Harga diri Anda terletak pada iman dan kedekatan Anda kepada Allah Ta'ala.

"Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, serta menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (Qs. Al-Hujurat: 13)

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjalankan Haji Wada' bersama umat Islam, yang kala itu kira-kira berjumlah 100.000 jemaah haji, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan hal ini, dengan berkata,

"Wahai umat manusia, sesungguhnya Tuhan kalian adalah Maha Esa, dan ayah kalian satu (yaitu Nabi Adam).  Ketahuilah, bahwa tidak ada kelebihan bagi orang Arab dibanding non-Arab, tidak pula bagi non-Arab atas orang Arab, tidak pula bagi yang berkulit putih kemerahan dibanding yang berkulit hitam, tidak pula sebaliknya bagi yang berkulit putih atas yang berkulit putih kemerahan kecuali dengan ketakwaan." (Hr. Ahmad)

Pada suatu hari, sahabat Umar bin al-Khaththab menangis karena menyaksikan punggung Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bergaris-garis setelah berbaring di atas tikar daun kurma. Ia berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Raja Persia dan Romawi bergelimang dalam kemewahan, sedangkan engkau adalah utusan Allah demikian ini halnya."

Mendengar ucapan sahabatnya ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

"Tidakkah engkau merasa puas bila mereka mendapatkan kenikmatan dunia, sedangkan engkau mendapatkan kenikmatan di akhirat?" (Muttafaqun 'alaihi)

Jawaban ini begitu membekas pada jiwa sahabat Umar bin al-Khaththab, sehingga beliau benar-benar menerapkannya dalam kehidupan. Sampai pun setelah beliau menjadi khalifah, dan berhasil menundukkan kerajaan Persia dan Romawi yang dahulu begitu ia kagumi kekayaannya.

Setelah umat Islam berhasil menguasai Baitul Maqdis, Khalifah Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu datang ke sana guna menandatangani surat perjanjian dengan para pemuka penduduk setempat, sekaligus menerima kunci pintu Baitul Maqdis. Beliau datang dengan mengenakan sarung, sepatu kulit, dan imamah. Pada saat beliau hendak menyeberangi sebuah parit yang penuh dengan air mengalir, beliau turun dari unta, dan tanpa rasa sungkan sedikit pun beliau menuntun tunggangannya tersebut.

Melihat penampilan beliau yang demikian itu, sebagian pasukan muslimin yang ikut serta menjemput kehadiran beliau berkata, “Wahai Amirul Mukminin, engkau akan disambut oleh pasukan dan para pendeta Syam, sedang penampilanmu semacam ini?” Beliau menjawab, "Sesungguhnya hanya dengan Islamlah Allah memuliakan kita, karenanya kita tidak akan mencari kemuliaan dengan jalan selainnya." (Hr. Ibnu Abi Syaibah)

Pada riwayat al-Hakim, Umar bin Khaththab berkata,

"Sesungguhnya, kita dahulu adalah kaum paling hina, kemudian Allah memuliakan kita dengan agama Islam. Sehingga, jika kita berusaha mencari kemuliaan dengan selain agama Islam, pasti Allah akan menimpakan kehinaan kepada kita."


Demikianlah halnya, bila seseorang telah menemukan harga dirinya dalam jiwanya. Ia tidak merasa berkurang harga dirinya, karena kurangnya asesoris yang melekat pada dirinya, dan ia juga tidak bertambah percaya diri karena berbagai asesoris yang tersemat pada dirinya.

Pada peperang Qadisiyah, pasukan umat Islam yang berjumlah 30.000 personil, di bawah komando sahabat Sa'ad bin Abi Waqqas, menghadapi pasukan Persia yang berjumlah 200.000 personil. Sebelum peperangan dimulai, panglima perang Persia meminta agar umat Islam mengutus seorang juru runding guna berunding dengannya. Memenuhi permintaan ini, sahabat Sa'ad bin Abi Waqqas mengutus Rib'i bin 'Amir.

Setibanya Rib'i di pertendaan Panglima Persia yang bernama Rustum, ia mendapatkan tenda Rustum telah dihiasi dengan permadani berhiaskan emas, sutra, permata, intan berlian, dan hiasan indah lainnya. Rustum yang mengenakan mahkota dan berbagai asesoris mewah lainnya, telah duduk menunggunya di atas kursi yang terbuat dari emas.

Adapun Ribi'i datang dengan mengenakan pakaian yang kedodoran karena kebesaran, menenteng sebilah pedang, sebatang tombak, perisai, dan menunggangi kuda yang pendek. Ribi'i terus berjalan sambil menunggangi kudanya, hingga kudanya menginjak ujung permadani tenda Rustum.

Selanjutnya, ia turun dan menambatkan kudanya di beberapa bantal sandaran yang ada di tenda Rustum. Ia maju menghadap ke Rustum dengan tetap menenteng pedangnya, mengenakan baju dan topi besinya.

Menyaksikan ulah Ribi'i ini, sebagian pengawal Rustum menghardiknya dengan berkata, “Letakkan senjatamu!”

Tanpa gentar, Rabi'i menanggapi hardikan itu dengan berkata, “Bukan aku yang berinisiatif untuk datang ke tempat kalian, tetapi kalianlah yang mengundangku untuk datang. Bila kalian tidak suka dengan caraku ini, maka aku akan kembali.”

Mendengar perdebatan ini, Rustum berkata, “Biakan ia masuk.”

Tatkala Rib'i dizinkan masuk, tidak diduga, ia menghunjamkan tombaknya ke setiap bantal sandaran sutra yang ia lalui.

Setibanya di hadapan Rustum, ia bertanya kepada Ribi'i, “Apa tujuan kalian datang kemari?”

Ribi'i segera menjawab dengan tegas, “Kami datang untuk membebaskan umat manusia dari perbudakan kepada sesama manusia menuju perbibadatan kepada Allah, dari himpitan hidup dunia, kepada kelapangan hidup di akhirat, dari penindasan tokoh-tokoh agama, ke dalam naungan keadilan agama Islam. Allah mengutus kami untuk menyebarkan agama-Nya kepada seluruh umat manusia. Barangsiapa yang menerima seruan kami, maka kami menerima keputusannya itu dan kami pun segera kembali ke negeri kami. Adapun orang yang enggan menerima seruan kami, maka kami akan memeranginya, hingga kita berhasil menggapai janji Allah.”

Spontan, Rutum dan pasukannya kembali bertanya, “Apa janji Allah untuk kalian?”

Ribi'i menjawab, “Orang yang gugur dalam perjuangan ini mendapatkan surga dan kejayaan bagi yang selamat.” (Al-Bidayah wa an-Nihayah, oleh Ibnu Katsir: 7/46--47)

Demikianlah, bila harga diri seseorang tertanam kuat dalam jiwanya. Ia tidak menjadi gentar atau rendah diri walaupun penampilannya serba pas-pasan, sedangkan lawan bicaranya lengkap dengan berbagai asesoris yang menyilaukan mata.

Saudaraku, Anda bisa bayangkan, andai Anda dengan perlengkapan yang ditugasi untuk menemui panglima perang Persia dengan perlengkapan yang demikian itu, kira-kira bagaimana perasaan dan sikap Anda?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

"Bisa saja seseorang berpenampilan kumuh, selalu diusir orang karena dianggap remeh, namun bila ia bersumpah memohon kepada Allah, maka Allah pasti memenuhi permohonannya."  (Hr. Muslim)

Sebaliknya, walaupun berbagai asesoris yang berkilau, indah nan mahal harganya telah melekat pada diri Anda,tetapi Anda jauh dari Allah, bergelimang dalam kemaksiatan, maka kehinaan akan melekat selalu di kening Anda.

Al-Hasan al-Bashri berkata,

"Sesungguhnya, meskipun mereka (yaitu, para pelaku kemaksiatan dan dosa) menunggangi kuda yang gagah, dibuat melenggak-lenggok oleh keledai yang mereka tunggangi, tetapi kehinaan akibat amal kemaksiatan senantiasa melekat di hatinya. Allah tidak akan menimpakan sesuatu kepada orang yang bermaksiat kepanya-Nya kecuali kehinaan."

Haramkah Anda Berpakaian Bagus?

Saudaraku, mungkin Anda bertanya, “Bila demikian, apa itu artinya umat Islam harus berpenampilan kumuh, kusut, tidak rapi dan meninggalkan segala keindahan dunia?”

Tidak demikian, Saudaraku! Besarkan hati Anda, tidak perlu kawatir. Anda tetap dibenarkan untuk mencicipi berbagai keindahan dunia. Bahkan sebaliknya, berbanggalah menjadi umat islam, karena Allah Ta'ala menciptakan segala isi dunia tiada lain kecuali untuk kepentingan Anda.

"Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu."  (Qs. Al-Baqarah: 29)

Pada ayat lain, Allah berfirman,

"Katakanlah, ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah di keluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya, dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?’ Katakanlah, ‘Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat.’ Demikianlah, Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui." (Qs. Al-A'raf: 32)

Pada suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

"Tidak masuk surga orang yang di hatinya terdapat sebesar debu dari kesombongan." Spontan, salah seorang sahabat Nabi terkejut dan bertanya, "Sesungguhnya ada orang yang suka bila berpakaian bagus, dan mengenakan sendal yang bagus pula."  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menanggapi pertanyan ini dengan bersabda, "Sesungguhnya Allah Maha Indah, mencintai keindahan. Kesombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain." (Hr. Muslim)

Pendek kata, harga diri Anda hanya ada di dalam jiwa Anda. Bila Anda berjiwa besar karena dekat dengan Allah Yang Mahabesar dan Mahaagung, sumber segala kebesaran, maka tanpa asesoris yang macam-macam pun, Anda tetap percaya diri. Sebaliknya, bila jiwa Anda kerdil karena jauh dari Allah Yang Mahabesar dan Mahaagung, maka apa pun asesoris yang Anda sematkan pada diri Anda, tidak akan dapat mengangkat derajat Anda. Percayalah, Saudaraku!

Di antara aplikasi nyata keyakinan ini, Anda akan selalau membeli segala kebutuhan Anda tepat guna dengan harga yang tepat pula dan tidak pernah membeli produk hanya karena pertimbangan mereknya.

Sebagaimana Anda tidak menjadi latah dengan tren yang sedang berkembang di masyarakat. Anda tetap percaya diri walaupun asesoris yang Anda kenakan telah “expire date”, karena Anda percaya bahwa harga diri Anda terletak pada iman dan takwa Anda yang tidak pernah kadaluwarsa.

Akhirnya, saya mohon maaf  bila ada kata-kata saya yang kurang berkenan. Semoga Allah Ta'ala melimpahkan kemurahan-Nya kepada kita semua, sehingga kita menjadi hamba-Nya yang besar karena besarnya iman yang melekat di dada. Wallahu a'alam bish-shawab.

Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri, Lc. M.A.
 Artikel: www.pengusahamuslim.com

Minggu, 16 Mei 2010

Denda dalam Kacamata Syariah

Di tengah-tengah masyarakat sering kita jumpai berbagai bentuk denda berkaitan dengan transaksi muamalah. Seorang karyawan yang tidak masuk kerja tanpa izin akan diberikan sanksi berupa pemotongan gaji. Telat membayar angsuran kredit motor juga akan mendapatkan denda setiap hari, dengan nominal rupiah tertentu. Seorang penerjemah buku juga akan didenda dengan nominal tertentu setiap harinya oleh penerbit, jika buku ternyata belum selesai diterjemahkan sampai batas waktu yang telah disepakati. Percetakan yang tidak tepat waktu juga dituntut untuk membayar denda dengan jumlah tertentu. Bayar listrik sesudah tanggal 20 juga akan dikenai denda oleh pihak PLN.
Bagaimanakah hukum dari berbagai jenis denda di atas, apakah diperbolehkan secara mutlak, ataukah terlarang secara mutlak, ataukah perlu rincian? Inilah tema bahasan kita pada edisi ini. Persyaratan denda sebagaimana di atas diistilahkan oleh para ulama dengan nama syarth jaza’i.
Hukum persyaratan semisal ini berkaitan erat dengan hukum syarat dalam transaksi dalam pandangan para ulama. Ulama tidak memiliki titik pandang yang sama terkait dengan hukum asal berbagai bentuk transaksi dan persyaratan di dalamnya, ada dua pendapat.
Pendapat pertama menyatakan bahwa hukum asalnya adalah terlarang, kecuali persyaratan-persyaratan yang dibolehkan oleh syariat. Adapun pendapat kedua menegaskan bahwa hukum asal dalam masalah ini adalah sah dan boleh, tidak haram dan tidak pula batal, kecuali terdapat dalil dari syariat yang menunjukkan haram dan batalnya.
Singkat kata, pendapat yang lebih tepat adalah pendapat yang kedua, dengan alasan sebagai berikut:
a. Dalam banyak ayat dan hadits, kita dapatkan perintah untuk memenuhi perjanjian, transaksi, dan persyaratan, serta menunaikan amanah. Jika memenuhi dan memperhatikan perjanjian secara umum adalah perkara yang diperintahkan, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa hukum asal transaksi dan persyaratan adalah sah. Makna dari sahnya transaksi adalah maksud diadakannya transaksi itu terwujud, sedangkan maksud pokok dari transaksi adalah dijalankan.
b. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Kaum muslimin itu berkewajiban melaksanakan persyaratan yang telah mereka sepakati.” (Hr. Abu Daud dan Tirmidzi)
Makna kandungan hadits ini didukung oleh berbagai dalil dari al-Quran dan as-Sunnah. Maksud dari persyaratan adalah mewajibkan sesuatu yang pada asalnya tidak wajib, tidak pula haram. Segala sesuatu yang hukumnya mubah akan berubah menjadi wajib jika terdapat persyaratan.
Pendapat inilah yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya, Ibnul Qayyim. Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Segala syarat yang tidak menyelisihi syariat adalah sah, dalam semua bentuk transaksi. Semisal penjual yang diberi syarat agar melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu dalam transaksi jual-beli, baik maksud pokoknya adalah penjual ataupun barang yang diperdagangkan. Syarat dan transaksi jual-belinya adalah sah.”
Ibnul Qayyim mengatakan, “Kaidah yang sesuai dengan syariat adalah segala syarat yang menyelisihi hukum Allah dan kitab-Nya adalah syarat yang dinilai tidak ada (batil). Adapun syarat yang tidak demikian adalah tergolong syarat yang harus dilaksanakan, karena kaum muslimin berkewajiban memenuhi persyaratan yang telah disepakati bersama, kecuali persyaratan yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal. Inilah pendapat yang dipilih oleh guru kami, Ibnu Taimiyyah.”
Berdasar keterangan di atas, maka syarth jaza’i adalah diperbolehkan, asalkan hakikat transaksi tersebut bukanlah transaksi utang-piutang dan nominal dendanya wajar, sesuai dengan besarnya kerugian secara riil.
Berikut ini adalah kutipan dua fatwa para ulama:
Yang pertama adalah keputusan Majma’ Fikih Islami yang bernaung di bawah Munazhamah Mu’tamar Islami, yang merupakan hasil pertemuan mereka yang ke-12 di Riyadh, Arab Saudi, yang berlangsung dari tgl 23–28 September 2000. Hasil keputusannya adalah sebagai berikut:
Keputusan pertama. Syarth jaza’i adalah kesepakatan antara dua orang yang mengadakan transaksi untuk menetapkan kompensasi materi yang berhak didapatkan oleh pihak yang membuat persyaratan, disebabkan kerugian yang diterima karena pihak kedua tidak melaksanakan kewajibannya atau terlambat dalam melaksanakan kewajibannya.
Keputusan kedua. Adanya syarth jaza’i (denda) yang disebabkan oleh keterlambatan penyerahan barang dalam transaksi salam tidak dibolehkan, karena hakikat transaksi salam adalah utang, sedangkan persyaratan adanya denda dalam utang-piutang dikarenakan faktor keterlambatan adalah suatu hal yang terlarang. Sebaliknya, adanya kesepakatan denda sesuai kesepakatan kedua belah pihak dalam transaksi istishna’ adalah hal yang dibolehkan, selama tidak ada kondisi tak terduga.
Istishna’ adalah kesepakatan bahwa salah satu pihak akan membuatkan benda tertentu untuk pihak kedua, sesuai dengan pesanan yang diminta. Namun bila pembeli dalam transaksi ba’i bit-taqshith (jual-beli kredit) terlambat menyerahkan cicilan dari waktu yang telah ditetapkan, maka dia tidak boleh dipaksa untuk membayar tambahan (denda) apa pun, baik dengan adanya perjanjian sebelumnya ataupun tanpa perjanjian, karena hal tersebut adalah riba yang haram.
Keputusan ketiga. Perjanjian denda ini boleh diadakan bersamaan dengan transaksi asli, boleh pula dibuat kesepakatan menyusul, sebelum terjadinya kerugian.

Keputusan keempat
. Persyaratan denda ini dibolehkan untuk semua bentuk transaksi finansial, selain transaksi-transaksi yang hakikatnya adalah transaksi utang-piutang, karena persyaratan denda dalam transaksi utang adalah riba senyatanya.
Berdasarkan hal ini, maka persyaratan ini dibolehkan dalam transaksi muqawalah bagi muqawil (orang yang berjanji untuk melakukan hal tertentu untuk melengkapi syarat tertentu, semisal membangun rumah atau memperbaiki jalan raya).
Muqawalah adalah kesepakatan antara dua belah pihak, pihak pertama berjanji melakukan hal tertentu untuk kepentingan pihak kedua dengan jumlah upah tertentu dan dalam jangka waktu yang tertentu pula. Demikian pula, persyaratan denda dalam transaksi taurid (ekspor impor) adalah syarat yang dibolehkan, asalkan syarat tersebut ditujukan untuk pihak pengekspor.
Demikian juga dalam transaksi istishna’, asalkan syarat tersebut ditujukan untuk pihak produsen, jika pihak-pihak tersebut tidak melaksanakan kewajibannya atau terlambat dalam melaksanakan kewajibannya.
Akan tetapi, tidak boleh diadakan persyaratan denda dalam jual-beli kredit sebagai akibat pembeli yang terlambat untuk melunasi sisa cicilan, baik karena faktor kesulitan ekonomi ataupun keengganan. Demikian pula dalam transaksi istishna’ untuk pihak pemesan barang, jika dia terlambat menunaikan kewajibannya.

Keputusan kelima
. Kerugian yang boleh dikompensasikan adalah kerugian finansial yang riil atau lepasnya keuntungan yang bisa dipastikan. Jadi, tidak mencakup kerugian etika atau kerugian yang bersifat abstrak.
Keputusan keenam. Persyaratan denda ini tidak berlaku, jika terbukti bahwa inkonsistensi terhadap transaksi itu disebabkan oleh faktor yang tidak diinginkan, atau terbukti tidak ada kerugian apa pun disebabkan adanya pihak yang inkonsisten dengan transaksi.
Keputusan ketujuh. Berdasarkan permintaan salah satu pihak pengadilan, dibolehkan untuk merevisi nominal denda jika ada alasan yang bisa dibenarkan dalam hal ini, atau disebabkan jumlah nominal tersebut sangat tidak wajar.

Yang kedua
adalah fatwa Haiah Kibar Ulama Saudi. Secara ringkas, keputusan mereka adalah sebagai berikut, “Syarth Jaza’i yang terdapat dalam berbagai transaksi adalah syarat yang benar dan diakui sehingga wajib dijalankan, selama tidak ada alasan pembenar untuk inkonsistensi dengan perjanjian yang sudah disepakati.
Jika ada alasan yang diakui secara syar’i, maka alasan tersebut mengugurkan kewajiban membayar denda sampai alasan tersebut berakhir.
Jika nominal denda terlalu berlebihan menurut konsesus masyarakat setempat, sehingga tujuan pokoknya adalah ancaman dengan denda, dan nominal tersebut jauh dari tuntutan kaidah syariat, maka denda tersebut wajib dikembalikan kepada jumlah nominal yang adil, sesuai dengan besarnya keuntungan yang hilang atau besarnya kerugian yang terjadi.
Jika nilai nominal tidak kunjung disepakati, maka denda dikembalikan kepada keputusan pengadilan, setelah mendengarkan saran dari pakar dalam bidangnya, dalam rangka melaksanakan firman Allah, yaitu surat an-Nisa’: 58.” (Taudhih al-Ahkam: 4/253–255)
Jadi, anggapan sebagian orang bahwa syarth jaza’i secara mutlak itu mengandung unsur riba nasi’ah adalah anggapan yang tidak benar. Anggapan ini tidaklah salah jika ditujukan untuk transaksi-transaksi yang pada asalnya adalah utang-piutang, semisal jual-beli kredit dan transaksi salam.
Penulis: Ustadz Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar, S.S.
Artikel: www.pengusahamuslim.com
Dipublikasikan oleh: EkonomiSyariat.Com

Tanya Jawab: Pertanyaan Pada Kuis Berhadiah

quiz-pertanyaan Pertanyaan:
Apakah ada persyaratan bahwa pertanyaan yang diberikan dalam kuis berhadiah harus seputar agama, ataukah dibolehkan pertanyaan tentang pengetahuan umum, semisal sejarah atau geografi?
Pertanyaan:

Apakah ada persyaratan bahwa pertanyaan yang diberikan dalam kuis berhadiah harus seputar agama, ataukah dibolehkan pertanyaan tentang pengetahuan umum, semisal sejarah atau geografi?

Jawaban:


Jika motivasi mengadakan kuis dan menyediakan hadiahnya adalah bukan semata keuntungan materi, namun untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan masyarakat, maka tidaklah terlarang membuat pertanyaan tentang pengetahuan umum, semisal sejarah dan geografi.

Terlebih, menimbang bahwa banyak generasi muda yang memiliki banyak waktu luang, namun itu semua mereka habiskan untuk main-main, mengikuti berbagai gosip, mendengarkan musik, berjam-jam menonton TV dan film picisan. Padahal mereka memiliki berbagai buku keagamaan atau pengetahuan umum dari berbagai bidang disiplin ilmu, tetapi mereka tidak mengetahui isi kandungan buku-buku tersebut. Biasanya, mereka tidak mampu mengkaji dan mengetahui isi kandungan buku-buku tersebut, jika tidak ada yang memotivasi.

Ketika mereka hendak mengikuti kuis tersebut, maka mereka dituntut untuk memberikan jawaban pertanyaan seputar sejarah, semisal nama-nama tokoh dan berbagai peristiwa penting. Akhirnya, mereka terdorong untuk membaca dan mencari jawaban pertanyaan tersebut. Demikian pula, ketika pertanyaan kuis seputar agama, misalnya ibadah, muamalah, pembagian warisan, dan yang lainnya, sedangkan pembaca memiliki referensi yang lengkap milik sendiri atau pun sahabat yang bisa dipinjam, sehingga pembaca bisa memberikan jawaban setelah melakukan pengkajian terlebih dahulu.

Setelah itu, pembaca jadi mengetahui isi berbagai buku yang mereka miliki. Dengan demikian, jika adalah masalah yang membutuhkan jawaban tentang hukumnya dari sisi agama, maka pembaca bisa mengambil buku yang membahas hal tersebut dengan mudah. Kami menilai bahwa mengadakan kuis semacam ini dibolehkan jika tujuan pihak penyelenggara bukan semata mengiklankan pusat perbelanjaan, agar masyarakat membeli berbagai barang yang dibutuhkan di pusat perbelanjaan tersebut, agar banyak orang datang ke toko tersebut, atau agar orang beramai-ramai membeli koran dan semisalnya.
Disadur dari Ahkam Musabaqah Tijariyah karya Syekh Abdullah bin Abdirrahman al-Jibrin, terbitan Dar al-Qasim, Riyadh.
(Diterjemahkan oleh Ustadz Abu 'Ukkasyah Aris Munandar, S.S., dengan beberapa pengubahan tata bahasa dan aksara oleh redaksi www.konsultasisyariah.com)
Pertanyaan:

Tanya Jawab: Acara Undian Berhadiah, Bolehkah?

hadiah-tasSebagian pusat perbelanjaan mengadakan acara besar yang diisi dengan berbagai perlombaan dan permainan untuk anak-anak. Tujuan acara ini adalah menarik minat masyarakat agar mengunjungi pusat perbelanjaan tersebut, meski mereka tidak membeli apa-apa di toko tersebut. Apakah acara semacam ini dibolehkan?

Pertanyaan:

Sebagian pusat perbelanjaan mengadakan acara besar yang diisi dengan berbagai perlombaan dan permainan untuk anak-anak. Tujuan acara ini adalah menarik minat masyarakat agar mengunjungi pusat perbelanjaan tersebut, meski mereka tidak membeli apa-apa di toko tersebut. Apakah acara semacam ini dibolehkan?

Jawaban:


Tidaklah diragukan bahwa tujuan pokok acara ini adalah untuk kepentingan pusat perbelanjaan tersebut, yaitu menjadikan pusat perbelanjaan tersebut menjadi terkenal di masyarakat dan apa saja yang dijual di sana diketahui oleh banyak kalangan. Pemilik toko ingin agar nama toko mereka, barang-barang yang dijual, dan pelayanan yang diberikan menjadi buah bibir masyarakat.

Tidaklah diragukan bahwa acara seperti ini lebih efisien, jika dibandingkan dengan biaya iklan di berbagai media massa. Dengan acara ini, pusat perbelanjaan tersebut ingin menarik masyarakat untuk menonton dan menghadiri keramaian yang ada di pusat perbelanjaan ini. Akhirnya, para pengunjung tersebut turut mengikuti kuis atau perlombaan, yang ada dalam rangka mendapatkan hadiah yang telah disediakan.

Kami katakan bahwa tujuan ini menyebabkan acara ini hanyalah acara keduniaan semata, tidak ada niat untuk memberikan manfaat materi atau manfaat ilmiah bagi masyarakat banyak.

Sikap terbaik adalah tidak menghadiri acara tersebut agar tujuan mereka tidak berhasil, karena acara semacam ini merugikan pusat perbelanjaan yang lain. Masyarakat meninggalkan pusat perbelanjaan yang tidak mengadakan acara semacam itu, sedangkan kaidah syariat mengatakan bahwa segala bahaya harus dihilangkan.

Disadur dari Ahkam Musabaqah Tijariyah karya Syekh Abdullah bin Abdirrahman al-Jibrin, terbitan Dar al-Qasim, Riyadh.

(Diterjemahkan oleh Ustadz Abu 'Ukkasyah Aris Munandar, S.S., dengan beberapa pengubahan susunan dan tata bahasa oleh redaksi www.konsultasisyariah.com)

Tanya Jawab: Kupon Belanja dalam Islam?

kupon-belanja Sebagian pusat perbelanjaan memberikan kupon berisi nomor tertentu bagi pengunjung yang berbelanja dengan nominal tertentu, semisal seratus ribu dan kelipatannya. Kupon-kupon ini akan diundi secara periodik. Barangsiapa yang kuponnya keluar, maka dia berhak mendapatkan hadiah. Apakah saya boleh mengikuti undian ini? Perlu diketahui bahwa kepergian saya ke pusat perbelanjaan tersebut bukanlah karena adanya undian, tetapi untuk membeli barang-barang kebutuhan saya. Bahkan, terkadang saya baru mengetahui adanya undian setelah saya berada di dalam pusat perbelanjaan tersebut.
Pertanyaan:

Sebagian pusat perbelanjaan memberikan kupon berisi nomor tertentu bagi pengunjung yang berbelanja dengan nominal tertentu, semisal seratus ribu dan kelipatannya. Kupon-kupon ini akan diundi secara periodik. Barangsiapa yang kuponnya keluar, maka dia berhak mendapatkan hadiah. Apakah saya boleh mengikuti undian ini? Perlu diketahui bahwa kepergian saya ke pusat perbelanjaan tersebut bukanlah karena adanya undian, tetapi untuk membeli barang-barang kebutuhan saya. Bahkan, terkadang saya baru mengetahui adanya undian setelah saya berada di dalam pusat perbelanjaan tersebut.

Jawaban:

Ini merupakan salah satu strategi para pedagang untuk melariskan barang dagangannya. Banyak orang dari berbagai tempat yang jauh mendatangi toko ini karena berharap mendapatkan hadiah yang disediakan, yang boleh jadi berupa mobil mewah atau semisalnya. Ketika terdengar berita bahwa si A mendapatkan hadiah berupa ini atau itu dari suatu toko, banyak orang lantas berangan-angan untuk mendapatkan keberuntungan yang serupa. Akhirnya, mereka termotivasi untuk membeli dari toko tersebut karena mengharapkan hadiahnya.

Setelah toko tersebut banyak dikunjungi, maka pemilik toko menaikkan harga barang-barang yang dijual di tokonya dengan perubahan harga yang mencolok. Hal ini pasti ketahui oleh orang-orang yang membandingkan harga-harga di toko tersebut dengan toko lain. Pemilik toko yakin bahwa masyarakat punya animo yang tinggi untuk membeli di tokonya dan tidak akan berpaling ke tempat yang lain.

Dengan hal ini, pihak pemilik toko mendapatkan keuntungan yang lebih banyak. Bagian kecil dari keuntungan tersebut digunakan untuk menyediakan hadiah.

Pemilik toko biasanya dengan sengaja memilih para koleganya untuk mendapatkan hadiah. Dia paksakan agar nama koleganya yang keluar dari puluhan ribu nama yang ada. Intinya, dalam masalah ini, para pemilik toko itu tidak ubahnya sebagaimana orang-orang lain yang melakukan trik-trik yang mengandung tipu muslihat.

Karenanya, kami katakan bahwa tidak boleh bersengaja membeli di toko tersebut dengan niat untuk mendapatkan hadiahnya, dengan pertimbangan sebagai berikut:
  1. Tindakan tersebut merugikan toko-toko lain yang tidak mengadakan undian tersebut.
  2. Membeli dengan harga tinggi, padahal ada yang menjual dengan harga yang lebih murah.
  3. Membeli dengan niat ingin mendapatkan hadiah adalah perbuatan semi judi.
Akan tetapi, orang yang tidak bersengaja membeli di toko tersebut karena ingin mendapatkan hadiahnya, namun kebetulan toko tersebut adalah toko yang paling dekat dengan tempat tinggalnya atau barang yang ini dibeli hanya ada di toko tersebut, maka boleh mendaftarkan diri sebagai peserta undian dan boleh mengambil hadiah yang telah disediakan.

Penulis: Ustadz Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar, S.S.
(Dengan pemberian judul oleh redaksi www.pengusahamuslim.com)

Tanya Jawab: Bungkus Produk Berhadiah

 hadiah-pejabat Sebagian perusahaan mengadakan undian tanpa tuntutan untuk memberikan jawaban apa pun. Bentuk undian tersebut hanya berupa mengumpulkan bungkus produk yang dijual oleh perusahaan tersebut. Orang yang beruntung akan mendapatkan hadiah. Apakah undian sejenis ini diperbolehkan? Apakah saya diperbolehkan untuk mengikutinya? Perlu diketahui, setiap hari saya membeli produk tersebut, baik ada perlombaan atau pun tidak.
Pertanyaan:

Sebagian perusahaan mengadakan undian tanpa tuntutan untuk memberikan jawaban apa pun. Bentuk undian tersebut hanya berupa mengumpulkan bungkus produk yang dijual oleh perusahaan tersebut. Orang yang beruntung akan mendapatkan hadiah. Apakah undian sejenis ini diperbolehkan? Apakah saya diperbolehkan untuk mengikutinya? Perlu diketahui, setiap hari saya membeli produk tersebut, baik ada perlombaan atau pun tidak.

Jawaban:

Diperbolehkan mengikuti undian tersebut bagi orang yang membeli produk tersebut setiap harinya, dengan syarat: pertama, membeli produk tersebut bukan karena ingin mendapatkan hadiahnya; kedua, telah diketahui bahwa perusahaan tersebut memiliki tujuan agar masyarakat ramai-ramai membeli produknya, sehingga produknya semakin laris saja.

Perusahaan lalu mengambil sedikit dari keuntungan yang didapatkan untuk menyediakan hadiah yang dijanjikan bagi orang yang mengumpulkan bungkus tersebut. Dengan mengumpulkan bungkus tersebut, bisa dipastikan bahwa pengirim telah benar-benar membeli produk tersebut.

Tidaklah diragukan bahwa ini adalah salah satu trik pedagang yang tidak mengutamakan kualitas produk. Karenanya, saya tegaskan, jangan beli produk tersebut karena berharap mendapatkan hadiahnya, dan jangan motivasi mereka untuk melakukan trik ini! Jika ada pihak-pihak yang dirugikan karena hal ini, maka laporkanlah kepada aparat yang berwenang.

Penulis: Ustadz Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar, S.S.

(Dengan pemberian judul oleh redaksi www.pengusahamuslim.com)

Jumat, 14 Mei 2010

Tanya Jawab: Kartu Berhadiah

kartu-hadiah Sebagian pusat perbelanjaan memberikan kartu kepada setiap pengunjung. Pada kartu tersebut, nama dan alamat pengunjung dicatat. Dalam rentang waktu tertentu diadakan undian. Barangsiapa yang namanya keluar dalam acara penarikan undian tersebut akan diberi hadiah yang cukup bernilai. Dalam hal ini, tidak ada persyaratan harus membeli barang di toko tersebut. Apa hukum kegiatan semacam ini?
Pertanyaan:

Sebagian pusat perbelanjaan memberikan kartu kepada setiap pengunjung. Pada kartu tersebut, nama dan alamat pengunjung dicatat. Dalam rentang waktu tertentu diadakan undian. Barangsiapa yang namanya keluar dalam acara penarikan undian tersebut akan diberi hadiah yang cukup bernilai. Dalam hal ini, tidak ada persyaratan harus membeli barang di toko tersebut. Apa hukum kegiatan semacam ini?

Jawaban:


Kegiatan ini jelas bertujuan agar masyarakat mendatangi pusat perbelanjaan ini. Tujuan kegiatan ini adalah meningkatkan popularitas toko tersebut di tengah-tengah masyarakat, kemudian nama toko tersebut menjadi buah bibir. Dampak yang diharapkan, nantinya banyak orang yang datang ke toko tersebut.

Tidaklah disangsikan bahwa mereka mencari untung di balik acara ini. Setelah barang dagangan mereka laris, karena banyak orang yang berbelanja di toko tersebut, diharapkan keuntungan yang didapatkan bisa menggantikan biaya yang dikeluarkan untuk menyediakan hadiah, bahkan menghasilkan keuntungan yang lebih besar.

Di samping itu, kegiatan ini merugikan pusat perbelanjaan lain yang tidak mengadakan acara semisal itu, karena masyarakat tidak lagi tertarik dengan tokonya. Akhirnya, toko-toko yang lain menuai kerugian. Dalam hadits, Nabi bersabda,

“Tidak boleh merugikan orang lain.” (Hr. Ahmad dan Ibnu Majah; dinilai shahih oleh al-Albani)

Disadur dari Ahkam Musabaqah Tijariyah karya Syekh Abdullah bin Abdirrahman al-Jibrin, terbitan Dar al-Qasim, Riyadh.
(Diterjemahkan oleh Ustadz Abu 'Ukkasyah Aris Munandar, S.S., dengan beberapa pengubahan susunan dan tata bahasa oleh redaksi www.konsultasisyariah.com)
Artikel: PengusahaMuslim.Com

Selasa, 11 Mei 2010

Tanya Jawab: Kuis Berhadiah di Media Cetak

Posted:
kuis-koran Berbagai koran dan majalah membuat kuis yang berisi pertanyaan terkait dengan berbagai hal dan tidak mesti seputar agama. Pihak koran atau majalah tersebut meminta para pembacanya agar memberikan jawaban dengan syarat jawaban ditulis pada kupon yang telah disediakan dan terdapat di koran atau majalah tersebut. Artinya, barangsiapa yang ingin menjawab harus membeli koran atau majalah tersebut. Kemudian, pihak majalah mengadakan pemilihan pemenang dari berbagai jawaban yang benar yang masuk ke meja redaksi. Hadiah yang disediakan, baik nilainya besar atau pun kecil hanya disediakan bagi pembaca yang terpilih. Apa hukum hal semacam ini?
Pertanyaan:

Berbagai koran dan majalah membuat kuis yang berisi pertanyaan terkait dengan berbagai hal dan tidak mesti seputar agama. Pihak koran atau majalah tersebut meminta para pembacanya agar memberikan jawaban dengan syarat jawaban ditulis pada kupon yang telah disediakan dan terdapat di koran atau majalah tersebut. Artinya, barangsiapa yang ingin menjawab harus membeli koran atau majalah tersebut. Kemudian, pihak majalah mengadakan pemilihan pemenang dari berbagai jawaban yang benar yang masuk ke meja redaksi. Hadiah yang disediakan, baik nilainya besar atau pun kecil hanya disediakan bagi pembaca yang terpilih. Apa hukum hal semacam ini?

Jawaban:

Kami berpandangan bahwa tidak boleh membeli media cetak tersebut, jika tujuan membeli media cetak tersebut adalah mengharapkan agar bisa mendapatkan hadiah yang disediakan oleh panitia.

Pihak media tidaklah mengadakan kuis dan menyiapkan hadiah, melainkan untuk menarik minat pembeli sehingga media tersebut terjual laris karena meningkatnya jumlah pembeli. Oleh karena jawaban pertanyaan disyaratkan ditulis di kupon, yang merupakan bagian dari majalah atau koran tersebut, dengan tujuan memastikan bahwa orang yang mengirimkan jawaban telah membeli edisi yang telah ditentukan.

Hal tersebut karena ketika ada kuis biasanya harga jual majalah tersebut dinaikkan dan oplah pun diperbanyak. Ini dilakukan karena pihak majalah melihat bahwa pasar memberikan respon positif terhadap media dan hadiah yang disediakan.

Oleh karena itu, kami berpandangan terlarangnya membeli koran atau majalah tersebut jika tujuannya adalah agar bisa mengirimkan jawaban.

Akan tetapi, jika ada orang yang memiliki niat untuk membeli majalah secara rutin karena ingin membaca berbagai berita dan pengetahuan yang ada di media itu, serta sama sekali bukan karena kuisnya, maka dibolehkan untuk ikut mengirimkan jawaban dan mengambil hadiah yang telah disediakan, jika beruntung mendapatkannya.

Demikian pula, dibolehkan untuk turut mengirimkan jawaban bagi orang yang mendapatkan koran atau majalah tersebut tanpa harus membelinya terlebih dahulu.

Disadur dari Ahkam Musabaqah Tijariyah karya Syekh Abdullah bin Abdirrahman al-Jibrin, terbitan Dar al-Qasim, Riyadh.
(Diterjemahkan oleh Ustadz Abu 'Ukkasyah Aris Munandar, S.S., dengan beberapa pengubahan susunan dan tata bahasa oleh redaksi www.konsultasisyariah.com)

Sabtu, 08 Mei 2010

Serba-Serbi Denda

uang Di tengah-tengah masyarakat sering kita jumpai berbagai bentuk denda berkaitan dengan transaksi muamalah. Seorang karyawan yang tidak masuk kerja tanpa izin akan diberikan sanksi berupa pemotongan gaji. Telat membayar angsuran kredit motor juga akan mendapatkan denda setiap hari, dengan nominal rupiah tertentu. Seorang penerjemah buku juga akan didenda dengan nominal tertentu setiap harinya oleh penerbit, jika buku ternyata belum selesai diterjemahkan sampai batas waktu yang telah disepakati. Percetakan yang tidak tepat waktu juga dituntut untuk membayar denda dengan jumlah tertentu. Bayar listrik sesudah tanggal 20 juga akan dikenai denda oleh pihak PLN.
Di tengah-tengah masyarakat sering kita jumpai berbagai bentuk denda berkaitan dengan transaksi muamalah. Seorang karyawan yang tidak masuk kerja tanpa izin akan diberikan sanksi berupa pemotongan gaji. Telat membayar angsuran kredit motor juga akan mendapatkan denda setiap hari, dengan nominal rupiah tertentu. Seorang penerjemah buku juga akan didenda dengan nominal tertentu setiap harinya oleh penerbit, jika buku ternyata belum selesai diterjemahkan sampai batas waktu yang telah disepakati. Percetakan yang tidak tepat waktu juga dituntut untuk membayar denda dengan jumlah tertentu. Bayar listrik sesudah tanggal 20 juga akan dikenai denda oleh pihak PLN.

Bagaimanakah hukum dari berbagai jenis denda di atas, apakah diperbolehkan secara mutlak, ataukah terlarang secara mutlak, ataukah perlu rincian? Inilah tema bahasan kita pada edisi ini. Persyaratan denda sebagaimana di atas diistilahkan oleh para ulama dengan nama syarth jaza’i.

Hukum persyaratan semisal ini berkaitan erat dengan hukum syarat dalam transaksi dalam pandangan para ulama. Ulama tidak memiliki titik pandang yang sama terkait dengan hukum asal berbagai bentuk transaksi dan persyaratan di dalamnya, ada dua pendapat.

Pendapat pertama menyatakan bahwa hukum asalnya adalah terlarang, kecuali persyaratan-persyaratan yang dibolehkan oleh syariat. Adapun pendapat kedua menegaskan bahwa hukum asal dalam masalah ini adalah sah dan boleh, tidak haram dan tidak pula batal, kecuali terdapat dalil dari syariat yang menunjukkan haram dan batalnya.

Singkat kata, pendapat yang lebih tepat adalah pendapat yang kedua, dengan alasan sebagai berikut:

a. Dalam banyak ayat dan hadits, kita dapatkan perintah untuk memenuhi perjanjian, transaksi, dan persyaratan, serta menunaikan amanah. Jika memenuhi dan memperhatikan perjanjian secara umum adalah perkara yang diperintahkan, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa hukum asal transaksi dan persyaratan adalah sah. Makna dari sahnya transaksi adalah maksud diadakannya transaksi itu terwujud, sedangkan maksud pokok dari transaksi adalah dijalankan.

b. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Kaum muslimin itu berkewajiban melaksanakan persyaratan yang telah mereka sepakati.” (Hr. Abu Daud dan Tirmidzi)

Makna kandungan hadits ini didukung oleh berbagai dalil dari al-Quran dan as-Sunnah. Maksud dari persyaratan adalah mewajibkan sesuatu yang pada asalnya tidak wajib, tidak pula haram. Segala sesuatu yang hukumnya mubah akan berubah menjadi wajib jika terdapat persyaratan.

Pendapat inilah yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya, Ibnul Qayyim. Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Segala syarat yang tidak menyelisihi syariat adalah sah, dalam semua bentuk transaksi. Semisal penjual yang diberi syarat agar melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu dalam transaksi jual-beli, baik maksud pokoknya adalah penjual ataupun barang yang diperdagangkan. Syarat dan transaksi jual-belinya adalah sah.”

Ibnul Qayyim mengatakan, “Kaidah yang sesuai dengan syariat adalah segala syarat yang menyelisihi hukum Allah dan kitab-Nya adalah syarat yang dinilai tidak ada (batil). Adapun syarat yang tidak demikian adalah tergolong syarat yang harus dilaksanakan, karena kaum muslimin berkewajiban memenuhi persyaratan yang telah disepakati bersama, kecuali persyaratan yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal. Inilah pendapat yang dipilih oleh guru kami, Ibnu Taimiyyah.”

Berdasar keterangan di atas, maka syarth jaza’i adalah diperbolehkan, asalkan hakikat transaksi tersebut bukanlah transaksi utang-piutang dan nominal dendanya wajar, sesuai dengan besarnya kerugian secara riil.

Berikut ini adalah kutipan dua fatwa para ulama:
Yang pertama adalah keputusan Majma’ Fikih Islami yang bernaung di bawah Munazhamah Mu’tamar Islami, yang merupakan hasil pertemuan mereka yang ke-12 di Riyadh, Arab Saudi, yang berlangsung dari tgl 23--28 September 2000. Hasil keputusannya adalah sebagai berikut:

Keputusan pertama. Syarth jaza’i adalah kesepakatan antara dua orang yang mengadakan transaksi untuk menetapkan kompensasi materi yang berhak didapatkan oleh pihak yang membuat persyaratan, disebabkan kerugian yang diterima karena pihak kedua tidak melaksanakan kewajibannya atau terlambat dalam melaksanakan kewajibannya.

Keputusan kedua. Adanya syarth jaza’i (denda) yang disebabkan oleh keterlambatan penyerahan barang dalam transaksi salam tidak dibolehkan, karena hakikat transaksi salam adalah utang, sedangkan persyaratan adanya denda dalam utang-piutang dikarenakan faktor keterlambatan adalah suatu hal yang terlarang. Sebaliknya, adanya kesepakatan denda sesuai kesepakatan kedua belah pihak dalam transaksi istishna’ adalah hal yang dibolehkan, selama tidak ada kondisi tak terduga.

Istishna’ adalah kesepakatan bahwa salah satu pihak akan membuatkan benda tertentu untuk pihak kedua, sesuai dengan pesanan yang diminta. Namun bila pembeli dalam transaksi ba’i bit-taqshith (jual-beli kredit) terlambat menyerahkan cicilan dari waktu yang telah ditetapkan, maka dia tidak boleh dipaksa untuk membayar tambahan (denda) apa pun, baik dengan adanya perjanjian sebelumnya ataupun tanpa perjanjian, karena hal tersebut adalah riba yang haram. 

Keputusan ketiga. Perjanjian denda ini boleh diadakan bersamaan dengan transaksi asli, boleh pula dibuat kesepakatan menyusul, sebelum terjadinya kerugian.

Keputusan keempat
. Persyaratan denda ini dibolehkan untuk semua bentuk transaksi finansial, selain transaksi-transaksi yang hakikatnya adalah transaksi utang-piutang, karena persyaratan denda dalam transaksi utang adalah riba senyatanya.

Berdasarkan hal ini, maka persyaratan ini dibolehkan dalam transaksi muqawalah bagi muqawil (orang yang berjanji untuk melakukan hal tertentu untuk melengkapi syarat tertentu, semisal membangun rumah atau memperbaiki jalan raya).

Muqawalah adalah kesepakatan antara dua belah pihak, pihak pertama berjanji melakukan hal tertentu untuk kepentingan pihak kedua dengan jumlah upah tertentu dan dalam jangka waktu yang tertentu pula. Demikian pula, persyaratan denda dalam transaksi taurid (ekspor impor) adalah syarat yang dibolehkan, asalkan syarat tersebut ditujukan untuk pihak pengekspor.

Demikian juga dalam transaksi istishna’, asalkan syarat tersebut ditujukan untuk pihak produsen, jika pihak-pihak tersebut tidak melaksanakan kewajibannya atau terlambat dalam melaksanakan kewajibannya.

Akan tetapi, tidak boleh diadakan persyaratan denda dalam jual-beli kredit sebagai akibat pembeli yang terlambat untuk melunasi sisa cicilan, baik karena faktor kesulitan ekonomi ataupun keengganan. Demikian pula dalam transaksi istishna’ untuk pihak pemesan barang, jika dia terlambat menunaikan kewajibannya.

Keputusan kelima
. Kerugian yang boleh dikompensasikan adalah kerugian finansial yang riil atau lepasnya keuntungan yang bisa dipastikan. Jadi, tidak mencakup kerugian etika atau kerugian yang bersifat abstrak.

Keputusan keenam. Persyaratan denda ini tidak berlaku, jika terbukti bahwa inkonsistensi terhadap transaksi itu disebabkan oleh faktor yang tidak diinginkan, atau terbukti tidak ada kerugian apa pun disebabkan adanya pihak yang inkonsisten dengan transaksi.

Keputusan ketujuh. Berdasarkan permintaan salah satu pihak pengadilan, dibolehkan untuk merevisi nominal denda jika ada alasan yang bisa dibenarkan dalam hal ini, atau disebabkan jumlah nominal tersebut sangat tidak wajar.

Yang kedua
adalah fatwa Haiah Kibar Ulama Saudi. Secara ringkas, keputusan mereka adalah sebagai berikut, “Syarth Jaza’i yang terdapat dalam berbagai transaksi adalah syarat yang benar dan diakui sehingga wajib dijalankan, selama tidak ada alasan pembenar untuk inkonsistensi dengan perjanjian yang sudah disepakati.

Jika ada alasan yang diakui secara syar’i, maka alasan tersebut mengugurkan kewajiban membayar denda sampai alasan tersebut berakhir.

Jika nominal denda terlalu berlebihan menurut konsesus masyarakat setempat, sehingga tujuan pokoknya adalah ancaman dengan denda, dan nominal tersebut jauh dari tuntutan kaidah syariat, maka denda tersebut wajib dikembalikan kepada jumlah nominal yang adil, sesuai dengan besarnya keuntungan yang hilang atau besarnya kerugian yang terjadi.

Jika nilai nominal tidak kunjung disepakati, maka denda dikembalikan kepada keputusan pengadilan, setelah mendengarkan saran dari pakar dalam bidangnya, dalam rangka melaksanakan firman Allah, yaitu surat an-Nisa`: 58.” (Taudhih al-Ahkam: 4/253--255)

Jadi, anggapan sebagian orang bahwa syarth jaza’i secara mutlak itu mengandung unsur riba nasi’ah adalah anggapan yang tidak benar. Anggapan ini tidaklah salah jika ditujukan untuk transaksi-transaksi yang pada asalnya adalah utang-piutang, semisal jual-beli kredit dan transaksi salam.

Penulis: Ustadz Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar, S.S.
Artikel: www.pengusahamuslim.com

Kamis, 06 Mei 2010

Dua Nikmat yang Sering Terlupa

nikmat-terlupa "Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Qs. An-Nahl: 18)
Allah Ta’ala telah menciptakan manusia dan memberikan kenikmatan yang tidak terhingga. Manusia tidak akan mampu menghitungnya.

Allah berfirman:
وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللهِ لاَ تُحْصُوهَا إِنَّ اللهَ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ "Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Qs. An-Nahl: 18)

NIKMAT SEHAT
Di antara kenikmatan Allah yang sangat banyak adalah kesehatan. Kesehatan merupakan kenikmatan yang diakui setiap orang, memiliki nilai yang besar. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyebutkan hal ini dengan sabdanya:
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ آمِنًا فِي سِرْبِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا "Barangsiapa di antara kamu masuk pada waktu pagi dalam keadaan sehat badannya, aman pada keluarganya, dia memiliki makanan pokoknya pada hari itu, maka seolah-olah seluruh dunia dikumpulkan untuknya." (HR. Ibnu Majah, no: 4141; dan lain-lain; dihasankan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Al-Jami’ush Shaghir, no: 5918)
Kita melihat kenyataan manusia yang rela mengeluarkan biaya yang besar untuk berobat, ini bukti nyata mahalnya kesehatan yang merupakan kenikmatan dari Allah Ta’ala.

Akan tetapi kebanyakan manusia lalai dari kenikmatan kesehatan ini, dia akan ingat jika kesehatan hilang darinya.
Diriwayatkan bahwa seseorang mengadukan kemiskinannya dan menampakkan kesusahannya kepada seorang ‘alim. Maka orang ‘alim itu berkata: “Apakah engkau senang menjadi buta dengan mendapatkan 10 ribu dirham?”, dia menjawab: “Tidak”. Orang ‘alim itu berkata lagi: “Apakah engkau senang menjadi bisu dengan mendapatkan 10 ribu dirham?”, dia menjawab: “Tidak”. Orang ‘alim itu berkata lagi: “Apakah engkau senang menjadi orang yang tidak punya kedua tangan dan kedua kaki dengan mendapatkan 20 ribu dirham?”, dia menjawab: “Tidak”. Orang ‘alim itu berkata lagi: “Apakah engkau senang menjadi orang gila dengan mendapatkan 10 ribu dirham?”, dia menjawab: “Tidak”. Orang ‘alim itu berkata: “Apakah engkau tidak malu mengadukan Tuanmu (Allah subhanahu wa ta'ala ) sedangkan Dia memiliki harta 50 ribu dinar padamu”. (Lihat: Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm: 366)
DUA KENIKMATAN, BANYAK MANUSIA TERTIPU
Oleh karena itulah seorang hamba hendaklah selalu mengingat-ingat kenikmatan Allah yang berupa kesehatan, kemudian bersyukur kepada-Nya, dengan memanfaatkannya untuk ketaatan kepada-Nya. Jangan sampai menjadi orang yang rugi, sebagaimana hadits di bawah ini:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ (خ 593 "Dari Ibnu Abbas, dia berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Dua kenikmatan, kebanyakan manusia tertipu pada keduanya: kesehatan dan waktu luang." (HR. Bukhari, no: 5933)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Kenikmatan adalah keadaan yang baik, ada yang mengatakan kenikmatan adalah manfaat yang dilakukan dengan bentuk melakukan kebaikan untuk orang lain." (Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, penjelasan hadits no: 5933)

Kata “maghbuun” secara bahasa artinya tertipu di dalam jual-beli, atau lemah fikiran.

Al-Jauhari rahimahullah: “Berdasarkan ini, kedua (makna itu) bisa dipakai di dalam hadits ini. Karena sesungguhnya orang yang tidak menggunakan kesehatan dan waktu luang di dalam apa yang seharusnya, dia telah tertipu, karena dia telah menjual keduanya dengan murah, dan fikirannya tentang hal itu tidaklah terpuji." (Fathul Bari)
Ibnu Baththaal rahimahullah berkata: “Makna hadits ini bahwa seseorang tidaklah menjadi orang yang longgar (punya waktu luang) sehingga dia tercukupi (kebutuhannya) dan sehat badannya. Barangsiapa yang dua perkara itu ada padanya, maka hendaklah dia berusaha agar tidak tertipu, yaitu meninggalkan syukur kepada Allah terhadap nikmat yang telah Dia berikan kepadanya. Dan termasuk syukur kepada Allah adalah melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Barangsiapa melalaikan hal itu maka dia adalah orang yang tertipu." (Fathul Bari)
Kemudian sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di atas “kebanyakan manusia tertipu pada keduanya” ini mengisyaratkan bahwa orang yang mendapatkan taufiq (bimbingan) untuk itu, orangnya sedikit.

Ibnul Jauzi rahimahullah berkata: “Kadang-kadang manusia itu sehat, tetapi dia tidak longgar, karena kesibukannya dengan penghidupan. Dan kadang-kadang manusia itu cukup (kebutuhannya), tetapi dia tidak sehat. Maka jika keduanya terkumpul, lalu dia dikalahkan oleh kemalasan melakukan kataatan, maka dia adalah orang yang tertipu. Kesempurnaan itu adalah bahwa dunia merupakan ladang akhirat, di dunia ini terdapat perdagangan yang keuntungannya akan nampak di akhirat.

Maka barangsiapa menggunakan waktu luangnya dan kesehatannya di dalam ketaatan kepada Allah, maka dia adalah orang yang pantas diirikan. Dan barangsiapa menggunakan keduanya di dalam maksiat kepada Allah, maka dia adalah orang yang tertipu. Karena waktu luang akan diikuti oleh kesibukan, dan kesehatan akan diikuti oleh sakit, jika tidak terjadi maka masa tua (pikun).

Sebagaimana dikatakan orang “Panjangnya keselamatan (kesehatan) dan tetap tinggal (di dunia) menyenangkan pemuda. Namun bagaimanakah engkau lihat panjangnya keselamatan (kesehatan) akan berbuat? Akan mengembalikan seorang pemuda menjadi kesusahan jika menginginkan berdiri dan mengangkat (barang), setelah (sebelumnya di waktu muda) tegak dan sehat.” (Fathul Bari)
Ath-Thayyibi rahimahullah berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membuat gambaran bagi mukallaf (orang yang berakal dan dewasa) dengan seorang pedagang yang memiliki modal. Pedagang tersebut mencari keuntungan dengan keselamatan modalnya. Maka caranya dalam hal itu adalah dia memilih orang yang akan dia ajak berdagang, dia selalu menetapi kejujuran dan kecerdikan agar tidak merugi. Kesehatan dan waktu luang adalah modal, seharusnya dia (mukallaf) berdagang dengan Allah dengan keimanan, berjuang menundukkan hawa-nafsu dan usuh agama, agar dia mendapatkan keberuntungan kebaikan dunia dan akhirat. Hal ini seperti firman Allah:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى تِجَارَةٍ تُنجِيكُم مِّنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ "Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (Qs. As-Shaaf: 10) dan ayat-ayat berikutnya.
Berdasarkan itu dia wajib menjauhi ketatan kepada hawa-nafsu dan berdagang/kerja-sama dengan setan agar modalnya tidak sia-sia bersama keuntungannya.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam hadits tersebut “kebanyakan manusia tertipu pada keduanya” seperti firman Allah:
وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ "Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih." (Qs. Sabaa': 13)

“Kebanyakan” di dalam hadits itu sejajar dengan “sedikit” di dalam ayat tersebut.” (Fathul Bari)

Al-Qadhi Abu Bakar bin Al-‘Arabi rahimahullah berkata: “Diperselisihkan tentang kenikmatan Allah yang pertama (yakni yang terbesar) atas hamba. Ada yang mengatakan “keimanan”, ada yang mengatakan “kehidupan”, ada yang mengatakan “kesehatan”. Yang pertama (yaitu keimanan) lebih utama, karena hal itu kenikmatan yang mutlak (menyeluruh). Adapun kehidupan dan kesehatan, maka keduanya adalah kenikmatan duniawi, dan tidak menjadi kenikmatan yang sebenarnya kecuali jika disertai oleh keimanan. Dan di waktu itulah banyak manusia yang merugi, yakni keuntungan mereka hilang atau berkurang. Barangsiapa mengikuti hawa-nafsunya yang banyak memerintahkan keburukan, selalu mengajak rileks, sehingga dia meninggalkan batas-batas (Allah) dan meninggalkan menekuni ketaatan, maka dia telah merugi. Demikian juga jika dia lonnggar, karena orang yang sibuk kemungkinan memiliki alasan, berbeda dengan orang yang longgar, maka alasan hilang darinya dan hujjah (argumen) tegak atasnya." (Fathul Bari)

Maka sepantasnya hamba yang berakal bersegera beramal shalih selama kesempatan masih ada. Hanya Allah Tempat memohon pertolongan.
Penulis: Ustadz Muslim Atsari
Artikel: www.UstadzMuslim.com
Dipublikasikan oleh: www.pengusahamuslim.com