Rabu, 02 Juni 2010

Tujuh Kunci Menemukan Partner Ideal

jabat-tangan-bisnis Dalam dunia usaha kecil, seringkali ada permintaan umum: menemukan rekan bisnis yang ideal. Biasanya ini berakar dari kebutuhan untuk “menyingkirkan” peran atau tugas yang kita kerjakan. Seperti marketing, keuangan atau sales. Anda ingin tips menemukan partner ideal bisnis Anda? Simak ulasan selengkapnya...
Dalam dunia usaha kecil, seringkali ada permintaan umum: menemukan rekan bisnis yang ideal. Biasanya ini berakar dari kebutuhan untuk “menyingkirkan” peran atau tugas yang kita kerjakan. Seperti marketing, keuangan atau sales.
Saya menyadarinya saat memulai usaha dimana saya merasa putus asa menemukan rekan yang menguasai marketing dan sales dengan lebih baik dibandingkan saya. Saya merasa yakin jika saya bisa melepaskan dari pundak saya dan fokus pada dengan menjadi pelatih yang hebat maka bisnis saya akan berkembang pesat! Ya..empat tahun kemudian, saya tidak pernah menemukan rekan tersebut tapi saya menemukan cara untuk mengembangkan bisnis.
Saya menyadari nilai rekanan marketing.
Rekanan marketing adalah pengusaha lain yang bersedia melakukan lintas pasar produk dan jasa Anda pada prospek dan klien.
Tidak semua orang menjadi “calon rekan yang ideal.” Terkadang Anda harus memperjelas dengan siapa Anda ingin bermain sehingga Anda tidak perlu telalu banyak pilihan. Jadi saya akan membagi 7 Kunci untuk menemukan rekanan yang ideal.
  1. Mindset Rekanan. Apakah orang tersebut memiliki kriteria yang dibutuhkan sebagai seorang rekanan? Tidak semua orang bisa. Faktanya, beberapa orang menjadi rekan yang buruk karena mereka terlalu mandiri atau mereka tidak suka bermain dengan orang lain. Penting untuk memahami mengapa sesorang mengejar rekanan tersebut. Apakah mereka menginginkan penjualan yang cepat atau mereka sangat ingin bergabung dengan Anda dalam bisnis jangka panjang?
  2. Penyelarasan Nilai. Dengan mengetahui 3 nilai teratas, maka bisa membantu Anda memperjelas apa yang dibutuhkan untuk jangka panjang. Jika nilai inti seseorang adalah kemandirian dan yang lainnya adalah kolaborasi, mungkin pendekatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan akan berat. Ini sangat dibutuhkan jika Anda bekerja sama dalam menyelesaikan proyek.
  3. Berbagi visi. Apakah Anda berbagi hasrat untuk keluaran yang dihasilkan? Apakah Anda berdua melihat keluaran yang sama? Atau apakah seseorang ingin melepaskan peluang mereka dan yang lainnya ingin memiliki kerja sama dalam jangka panjang. Apakah Anda pernah bertemu pasangan suami-istri dimana yang satu ingin anak sedang yang satunya tidak? Akhirnya mereka berpisah. Berbagi visi untuk keluaran yang dihasilkan penting untuk menjaga keselarasan dalam hubungan.
  4. Gaya kerja yang kompatibel. Ini sangat penting. Apakah Anda berdua memimpikan bekerja dengan jam yang lama dan berat untuk mencapai tujuan? Apakah orang tersebut memiliki anak yang lebih membutuhkan perhatian mereka? Apakah Anda berdua bersedia melakukan apapun untuk menyelesaikan pekerjaan?
  5. Kekuatan yang saling melengkapi. Jika Anda berdua suka melalui hal yang sama dan tidak ada satupun yang mau mengerjakan pekerjaan lain, maka Anda akan bekerja untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Akankah Anda melimpahkan ke pihak lain? Pastikan Anda berdua memiliki kualifikasi untuk melakukan peran Anda – atau yang lain yang bisa menyebabkan tekanan dan kekecewaan.
  6. Saat Anda meluangkan waktu untuk menggali minat terbaik Anda akan menjadikan bahan kerjasama yang baik, saya mendorong Anda untuk meluangkan waktu untuk menggali jika rekan pengusaha Anda akan menjadi “ rekan” yang baik. Tidak ada yang lebih buruk dibandingkan saat ditengah-tengah proyek Anda menyadari tidak suka berbisnis dengan orang tersebut.
  7. Saat Anda menggali kunci diatas dan siap untuk melangkah, pastian untuk menetapkan perjanjian (saya sarankan memiliki kontrak). Jika Anda mengikuti langkah-langkah di Metode Tujuan yang tidak bisa terhentikan, Anda akan menyadari bahwa Anda memiliki dasar yang kuat untuk menciptakan sukses bersama “yang tidak tertahankan.”
Happy partnering!
Penulis: Melanie Benson Strick, Coach Pengusaha Sukses, mengajarkan pengusaha bagaimana menghentikan rasa kewalahan sehingga mereka bisa menghasilkan pendapatan yang lebih banyak, kebebasan dan nama baik yang lebih.
Diterjemahkan oleh: Iin – Tim Pengusahamuslim.com
Artikel: www.pengusahamuslim.com

Selasa, 01 Juni 2010

Tahukah Anda Apa Itu Judi yang Bukan Judi?

 undian
Tahukah Anda Apa Itu Judi yang Bukan Judi?

Maisir atau judi, dalam bahasa Arab, sebagaimana dalam Mu’jam Wasith: 2/1064, adalah segala bentuk taruhan. Istilah “maisir” digunakan untuk taruhan orang Arab dengan menggunakan anak panah, atau bermain dengan anak panah dalam segala hal.
Tahukah Anda Apa Itu Judi yang Bukan Judi?

Maisir atau judi, dalam bahasa Arab, sebagaimana dalam Mu’jam Wasith: 2/1064, adalah segala bentuk taruhan. Istilah “maisir” digunakan untuk taruhan orang Arab dengan menggunakan anak panah, atau bermain dengan anak panah dalam segala hal.

Istilah maisir juga digunakan untuk segala jenis taruhan, sampai-sampai mainan anak kecil dengan buah pala (kalau di tempat kita, kelereng atau sejenisnya, pent.). Demikian pula, maisir digunakan untuk daging unta yang dipertaruhkan oleh orang Arab.

Adapun maknanya secara istilah tidaklah lepas dari maknanya secara bahasa.

Ibnu Hajar al-Makki mengatakan, “Maisir adalah semua bentuk taruhan.” Al-Mahalli mengatakan, “Bentuk taruhan yang diharamkan adalah segala sesuatu yang meragukan, antara mungkin dapat untung ataukah malah merugi.”

Malik berkata, “Maisir itu ada dua macam, maisir lahwi (maisir berupa permainan) dan maisir qimar (maisir berupa taruhan). Yang termasuk maisir lahwi adalah bermain dadu, catur, dan semua permainan yang melalaikan (semisal, main kartu, pent).

Adapun maisir qimar adalah segala yang mengandung unsur untung-untungan. Perkataan semisal ini juga dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah.” (Mausuah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah: 2/14834)

Syaukani mengatakan,

وَكُلُّ مَالاَ يَخْلُوا اَللاَّعِبُ فِيْهِ مِنْ غنم أو غرم فهو ميسر

“Setiap permainan yang pesertanya dihadapkan kepada dua pilihan, yaitu untung  atau rugi, maka itulah judi.” (Nailul Authar: 8/175)

Al-Majma’ al-Fikih al-Islami juga mengatakan, “Setiap peserta dihadapkan kepada dua pilihan, untung dengan mendapatkan hadiah atau rugi karena kehilangan uang yang telah diserahkan, inilah tolak ukur taruhan yang haram.” (Taudhih al-Ahkam: 4/351)

Haiah Kibar Ulama Arab Saudi, ketika mengharamkan asuransi, mengatakan, “Asuransi adalah termasuk qimar (taruhan) karena di sana ada untung-untungan dalam transaksi financial, dan ada kerugian tanpa adanya kesalahan serta keuntungan tanpa ada kompensasi balik atau ada kompensasi balik tapi tidak sepadan.” (Taudhih al-Ahkam: 4/271)

Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa pengertian judi adalah taruhan yang terlarang (qimar), yaitu segala permainan atau transaksi yang mengandung dua kemungkinan, antara untung atau rugi. Sedangkan jika kemungkinan yang ada adalah antara untung atau tidak rugi, maka bukan termasuk judi.

Ibnu Utsaimin mengatakan, “Karena engkau dihadapkan pada pilihan antara untung ataukah tidak rugi, maka tidak ada taruhan (qimar) di dalamnya.” (Liqa’ al-Bab al-Maftuh: 201/30, Maktabah Syamilah)

Oleh karena itu, bukanlah termasuk judi suatu acara seminar yang ada iming-iming seratus pendaftar pertama akan mendapatkan hadiah tertentu, dengan syarat biaya pendaftaran peserta yang mendapatkan hadiah dengan yang tidak mendapatkan hadiah akan sama saja.

Dalam kondisi ini, pendaftar dihadapkan kepada dua kemungkinan, antara untung yaitu mendapatkan hadiah, dengan tidak rugi karena memang sekianlah biaya pendaftaran seminar, baik mendapatkan hadiah ataupun tidak.

Namun, jika biaya pendaftaran yang mendapat hadiah itu berbeda dengan yang tidak mendapat hadiah, maka ini termasuk judi.

Oleh karena itu, Ibnu Utsaimin berkata tentang hukum suatu produk dagang yang mengandung kuis berhadiah, “Perusahaan dagang itu hanya berorientasi bisnis. Mereka mengiming-imingi hadiah bagi siapa saja yang membeli produknya.

Kami tegaskan, bahwa ini boleh dengan dua persyaratan. Pertama, harga barang tersebut adalah harga standar, artinya penjual tidaklah menaikkan harga barang untuk kepentingan hadiah. Jika penjual menaikkan harga barang untuk biaya pembelian hadiah, maka ini adalah taruhan yang tidak halal.

Kedua, pembeli tidaklah membeli barang tersebut karena mengharapkan hadiah. Jika seseorang membeli suatu barang hanya karena berharap bisa mendapatkan hadiah dan tidak punya tujuan lain untuk membeli barang tersebut, maka ini adalah di antara bentuk menyia-nyiakan harta…. Padahal Nabi melarang membuang-buang harta.” (Liqa’ al-Bab al-Maftuh: 48/5)  

Oleh karena itu, di antara yang termasuk judi adalah kuis sms berhadiah, yang ketika sekali mengirim sms dalam rangka kuis itu lebih mahal daripada tarif normal. Misalnya, tarif normal per sms adalah Rp 100,00, namun karena ada kuis sms berhadiah umrah, maka sekali mengirim sms untuk menjawab pertanyaan yang diajukan akan dikenai tarif Rp 2.000,00 per sms. Selisih dua tarif ini, yaitu Rp 1.900,00, akan dikumpulkan oleh pihak penyelenggara untuk menyediakan hadiah.

Dengan demikian, peserta kuis ini akan mengalami dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, peserta undian akan untung karena dengan sekadar mengeluarkan biaya beberapa ribu, dia bisa melaksanakan umrah yang biayanya mencapai puluhan juta.

Kemungkinan kedua adalah buntung, rugi karena uangnya hilang tanpa mendapatkan kompensasi apa pun. Padahal, setiap transaksi yang mengandung dua pilihan antara rugi ataukah untung adalah judi, maka tidak diragukan lagi bahwa kuis sms semacam ini adalah taruhan yang terlarang (judi), meskipun berhadiah umrah.

Kuis ini bisa dibolehkan, jika biaya per-sms adalah biaya normal dan tidak mengalami peningkatan.

Demikian pula, di antara yang termasuk judi adalah kegiatan sepeda gembira. Setiap peserta diwajibkan membayar Rp 50.000,00 lalu diberi kaos seharga Rp 10.000,00. Uang sebanyak Rp 40.000,00 akan dikumpulkan penyelenggara untuk menyediakan door prize.

Karenanya, peserta mengalami dua pilihan, antara untung karena mendapat hadiah sepeda motor padahal dia hanya membayar Rp 50.000,00, atau merugi karena uangnya hilang tanpa kompensasi apa pun. 

Penulis: Ustadz Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar, S.S.
Artikel: PengusahaMuslim.Com

Adakah Pemutihan Utang dengan Utang dalam Islam?

uangmoneyDalam khazanah ekonomi Islam dikenal istilah “muqashshah”. Dalam bahasa Arab, muqashshah berarti, A mempunyai utang kepada B sebesar utang B kepada A, sedangkan secara istilah, muqashshah adalah dianggap lunasnya utang A kepada B, karena B mempunyai utang kepada A. Jadi, muqashshah adalah salah satu cara melunasi utang. Ibnu Jizzi, seorang ulama bermazhab Maliki mengatakan, “Muqashshah adalah pemutihan utang dengan utang.” Pengertian

Dalam khazanah ekonomi Islam dikenal istilah “muqashshah”. Dalam bahasa Arab, muqashshah berarti, A mempunyai utang kepada B sebesar utang B kepada A, sedangkan secara istilah, muqashshah adalah dianggap lunasnya utang A kepada B, karena B mempunyai utang kepada A. Jadi, muqashshah adalah salah satu cara melunasi utang. Ibnu Jizzi, seorang ulama bermazhab Maliki mengatakan, “Muqashshah adalah pemutihan utang dengan utang.”

Beda Muqashshah Dengan Ibra’

Dalam bahasa Arab, ibra’ (pemutihan utang) memiliki makna membersihkan, memurnikan, dan menjauhi sesuatu. Adapun secara istilah, ibra’ adalah pemutihan kewajiban yang ada di pihak lain. Bedanya dengan muqashshah, muqashshah adalah pemutihan utang dengan kompensasi, sedangkan ibra’ adalah pemutihan utang tanpa kompensasi apa pun.

Hukum Muqashshah  

Muqashshah itu disyariatkan dengan dalil hadits dan logika. Dalam hadits, Ibnu Umar berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, tunggu sebentar, aku hendak bertanya. Aku menjual unta di Baqi’ dan harganya ditetapkan dengan dinar, namun uang yang kuambil berbentuk dirham. Terkadang, harganya ditetapkan dengan dirham, namun uang yang kuterima berupa dinar. Aku ambil ini dari itu dan kuberikan itu dengan ini. Rasulullah bersabda,

لَا بَأْسَ أَنْ تَأْخُذَهَا بِسِعْرِ يَوْمِهَا مَا لَمْ تَفْتَرِقَا وَبَيْنَكُمَا شَيْءٌ

“Tidak apa-apa kau mengambilnya, asalkan dengan harga yang berlaku pada hari tersebut, dengan syarat sebelum kalian berpisah, semua pihak sudah menerima haknya masing-masing.”(Hr. ِAbu Daud, no. 3354; dinilai dhaif oleh al-Albani)

Hadits ini merupakan dalil tegas yang menunjukkan bolehnya mengganti harga suatu barang yang terutang dengan yang lainnya. Logika pun mendukung bolehnya transaksi ini.

Macam-macam Muqashshah

Muqashshah terbagi menjadi dua:

Pertama, ikhtiyariyyah yaitu muqashshah yang terjadi dengan dasar kerelaan dua orang yang berutang.

Kedua, jabariyyah yaitu muqashshah yang terjadi pada dua buah utang dengan syarat-syarat tertentu.

Menurut mayoritas pakar fikih, untuk muqashshah jabariyyah, disyaratkan adanya kesamaan antara kedua belah utang dalam jenis, sifat, jatuh tempo, dan daya kuat utang. Syarat ini tidak berlaku untuk muqashshah ikhtiyariyyah.

Jika dua buah utang berbeda jenis, sifat, jatuh tempo atau yang satu lebih kuat dari pada yang lain, maka muqashshah tidak terjadi kecuali dengan kerelaan kedua belah pihak, baik sebab utang itu sama ataupun berbeda.

Obyek Muqashshah


Obyek muqashshah adalah utang, karenanya muqashshah tidak terjadi antara barang dengan barang, dan barang dengan utang, kecuali jika barang tersebut berubah status menjadi utang. Jika sudah berubah, maka boleh asalkan syarat-syaratnya terpenuhi.

Syarat-syarat Muqashshah

Menurut Syafi’iyyah, syarat muqashshah adalah sebagai berikut:
  1. Obyeknya adalah utang, sehingga tidak ada muqashshah untuk barang karena muqashshah dalam barang berstatus sebagai transaksi tukar-menukar, sehingga dibutuhkan kerelaan kedua belah pihak. Adapun dalam utang, merupakan suatu yang sia-sia jika uang pembayaran utang kita serahkan lalu dikembalikan seketika.

    Oleh karena itu, terlarang untuk mengambil harta orang yang berutang tanpa kerelaannya, selama dia mengakui kalau dia mempunyai utang dan dia akan menunaikan kewajibannya. Orang yang berutang punya hak untuk memilih bentuk pelunasan utang yang dia kehendaki. Tidak bisa kita katakan, setelah harta diambil, bahwa muqashshah telah terjadi, karena muqashshah hanya dalam utang bukan barang.
  2. Terjadi pada nilai, bukan pada benda yang bisa diganti dengan yang, semisal bahan makanan dan biji-bijian.
  3. Utang tersebut bukan dari transaksi salam. Jika kedua utang tersebut adalah transaksi salam maka tidak boleh, meski kedua belah pihak rela. Demikianlah yang ditegaskan dalam al-Umm, karya Imam Syafi’i.
  4. Jenis utang dan waktu jatuh temponya sama. Jika yang satu berupa utang rupiah namun yang kedua adalah utang dolar, maka muqashshah tidak terjadi.
  5. Setelah salah satu pihak menagih utang. Jika belum ada pihak yang menagih utang, maka menurut Qadhi Husain, muqashshah tidak terjadi tanpa ada perbedaan pendapat (di antara ulama Mazhab Syafi’i).
  6. Tidak terkait dengan harta yang harus disikapi dengan hati-hati. Ibnu Abdis Salam mengatakan, “Jika tidak mungkin menerima haknya, maka seorang dibolehkan mengambil haknya kecuali jika haknya tersebut pada harta orang gila, anak yatim, dan harta umum milik semua umat Islam.”
  7. Tidak ada muqashshah dalam hukum qishash dan hukum had. Jika ada dua orang yang saling melakukan qazaf (tuduhan berzina), maka tidak ada muqashshah. Demikian pula, jika ada dua orang yang saling melukai, maka masing-masing pihak wajib membayar diyat.

Berdasar kriteria di atas, maka jika A mempunyai utang kepada B sebesar utang B kepada A, baik penyebab utang itu sama seperti antara transaksi salam dan qardh (utang-piutang) atau pun berbeda, semisal transaksi qardh dengan kredit barang dan kedua utang tersebut sama jenis, sifat, dan jatuh temponya, maka dalam hal ini para ulama Mazhab Syafi’i memiliki empat pendapat.

Pendapat terkuat menurut Nawawi, dan inilah yang ditegaskan dalam al Umm, adalah muqashshah terjadi secara otomatis tanpa memerlukan adanya kerelaan. Alasannya, meminta uang kepada pihak lain, namun nominalnya sama dengan utang yang menjadi kewajibannya, adalah sesuatu yang sia-sia.

Muqashshah Dalam Zakat

Jika ada seseorang yang kaya mengutangi orang yang miskin, lalu mengatakan, “Utang tersebut aku tetapkan sebagai bagian dari pembayaran zakatku,” maka ini tidak sah hingga si miskin melunasi utang, kemudian orang kaya tersebut kembali menyerahkan uang tersebut kepada si miskin. Demikian pendapat terkuat dalam Mazhab Syafi’i.

Muqashshah Dalam Barang Titipan

Para ulama Mazhab Hanafi menegaskan bahwa jika A menitipkan barang kepada B, dan A punya utang kepada B berupa barang yang sejenis dengan barang titipan, maka tidaklah terjadi muqashshah kecuali jika keduanya berkumpul dan mengadakan muqashshah, dalam keadaan barang titipan dipegang secara riil. Demikian pula, pendapat Zarkasi dari Mazhab Syafi’i.

Muqashshah Dalam Harta Rampasan

Jika seseorang yang merampas benda milik seseorang mengutangi orang yang dirampas,  dan utang tersebut berupa barang yang sejenis dengan barang yang dirampas, maka tidak secara otomatis terjadi muqashshah, kecuali setelah ada kesepakatan dan barang dipegang di tangan. Demikian penegasan para ulama Mazhab Hanafi.

Penulis: Ustadz Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar, S.S.
Artikel: PengusahaMuslim.Com